Inilah Tujuh Dimensi Batas Dasar Kelayakan Seorang Mustahik

oleh
oleh

JAKARTA, VoiceMagz.com – Adanya Had Kifayah (batasan kecukupan) dalam menopang penyaluran zakat di Indonesia sudah dirasa diperlukan.

Dengan adanya Had Kifayah, penyaluran zakat ke masyarakat akan tepat sasaran karena akan memilah yang benar-benar layak untuk mendapatkan bantuan dan juga memudahkan dalam penyalurannya.

“Karena itu, kajian Had Kifayah yang dilakukan Puskas BAZNAS dapat dijadikan acuan dalam penyaluran zakat di Indonesia,” ujar Direktur Pusat Kajian Strategis (Puskas) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Irfan Syauqi Beik di sela-sela diskusi publik di Jakarta, Rabu (23/5).

Diskusi mengenai Had Kifayah ini sebenarnya telah lama dilakukan para ulama dan pakar dalam berbagai literatur yang beragam. Namun hingga kini, Indonesia belum pernah memiliki nilai Had Kifayah yang terukur dengan jelas dan objektif.

Menurut Irfan, Had Kifayah merupakan batas kecukupan atau standar dasar kebutuhan seseorang atau keluarga ditambah dengan kecukupan tanggungan yang ada sebagai upaya menetapkan kelayakan penerima zakat (mustahik) fakir dan miskin sesuai kondisi wilayah dan sosio-ekonomi setempat.

Penilaian yang dilakukan untuk menentukan batas kecukupan, jelas Irfan, meliputi tujuh dimensi. Yaitu, makanan, pakaian, tempat tinggal dan fasilitas rumah tangga, ibadah, pendidikan, kesehatan dan transportasi.

“Ketujuh dimensi ini didasarkan pada analisis kebutuhan hidup layak dalam perspektif maqasid syari’ah. Nilai had kifayah ditentukan per keluarga, dengan asumsi rata-rata setiap keluarga terdiri atas empat orang yakni suami, istri, satu anak usia sekolah dasar (SD), dan satu anak usia sekolah menengah pertama (SMP),” jelasnya.

Asumsi jumlah rata-rata anggota keluarga ini, imbuh dia, berdasarkan survei yang telah dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Sedangkan penentuan tingkat pendidikan mengacu pada peraturan wajib belajar yang telah ditetapkan pemerintah.

Irfan juga mengatakan, di negeri jiran, Lembaga Zakat Selangor (LZS) Malaysia telah lama menggunakan standar ini sebagai dasar penyaluran zakat di wilayah setempat. Meski terdapat perbedaan metode penghitungan antara di kedua institusi tersebut.

“LZS menghitung berdasarkan jumlah pengeluaran setiap keluarga, sedangkan metode yang digunakan Puskas BAZNAS adalah dengan memperhitungkan biaya dasar yang dibutuhkan sebuah keluarga untuk bertahan hidup,” ujar Irfan.

Hasil penghitungan menunjukkan bahwa rata-rata Had Kifayah di Indonesia mencapai Rp 3.011.142,00 per keluarga per bulan. Sedangkan Had Kifayah per orangan mencapai angka Rp 772.088,00 per kapita per bulan.

Tiga provinsi yang memiliki nilai terendah adalah Sulawesi Tengah (Rp 2.844.637,00/keluarga/bulan), Jambi (Rp2.833.264,00/keluarga/bulan) dan Jawa Tengah (Rp 2.791.147,00/keluarga/bulan). Sementara tiga provinsi yang memiliki nilai tertinggi adalah Papua Barat (Rp 3.317.964,00/keluarga/bulan), Papua (Rp 3.340.837,00/keluarga/bulan) dan Nusa Tenggara Timur (Rp 3.363.105,00/keluarga/bulan).

Berdasarkan kajian ini, rekomendasi penyaluran zakat dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Yaitu pertama, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Artinya, bantuan zakat yang bersifat karitatif dan kedaruratan (pendistribusian) diberikan kepada mustahik fakir dan miskin yang dinilai belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Yakni, mereka yang berpenghasilan lebih kecil dari Had Kifayah (<Rp 3.011.142,00 per keluarga/bulan).

Kedua, mustahik yang memiliki penghasilan sama atau melebihi namun masih di bawah nishab zakat (yaitu antara Rp 3.011.142,00 hingga Rp 4.160.000,00 per keluarga/bulan), maka difokuskan kepada kegiatan yang bersifat produktif (pendayagunaan), seperti program kewirausahaan dan pemberdayaan masyarakat.

Sementara itu, anggota BAZNAS, Nana Mintarti menjelaskan, rekomendasi penetapan mustahik untuk program pendistribusian dan pendayagunaan berbasis nilai ini, masih bersifat terbuka, tergantung dari tempat dan kondisi mustahik berada.

Dalam menentukan setiap kategori, baik mustahik dalam area pendistribusian maupun pendayagunaan, juga diperlukan penilaian lebih jauh dan komprehensif, dengan memperhatikan instrumen-instrumen lain seperti Indeks Zakat Nasional (IZN) dan Indeks Desa Zakat (IDZ) yang telah ditetapkan BAZNAS.

Nana mengapresiasi kajian Puskas ini sebagai bagian dari terobosan dan inovasi kebijakan BAZNAS sekaligus menunjukkan semakin pentingnya research-based policy dalam pembangunan zakat nasional saat ini.

“Semoga masyarakat menjadi semakin teryakinkan pada komitmen BAZNAS untuk senantiasa meningkatkan kualitas pengelolaan zakat di Tanah Air,” kata Nana. (NVR)

No More Posts Available.

No more pages to load.