JAKARTA, VoiceMagz.com – Di balik aroma hangat minyak balur Kutus-Kutus yang akrab bagi banyak keluarga Indonesia, tersimpan kisah panjang tentang ketekunan, keyakinan, dan perjuangan seorang pria Bali bernama Bambang Pranoto.
Kini, setelah bertahun-tahun menghadapi konflik kepemilikan merek, Kutus-Kutus akhirnya resmi kembali ke tangan sang peracik asli.
Keputusan ini bukan sekadar perkara hukum. Bagi Bambang, yang akrab disapa Babe oleh para pengikut dan pengguna setia produknya. Ini juga adalah tentang menjaga warisan, menjaga nilai-nilai spiritual dan filosofi yang ia tuangkan ke dalam setiap tetes minyak herbalnya.
Kutus-Kutus bukan sekadar produk kesehatan. Ia lahir dari perpaduan antara ilmu pengobatan tradisional Bali, keyakinan spiritual, dan intuisi pribadi seorang pencipta yang tidak sekadar menjual, tetapi meracik dengan hati.
“Saya menciptakan Kutus-Kutus bukan karena ingin berbisnis. Ini bermula dari kebutuhan pribadi dan spiritual. Saya meraciknya untuk penyembuhan, bukan untuk pasar,” ujar Babe beberapa waktu lalu.
Kemenangan di Pengadilan Niaga Surabaya pada 16 April 2025 menjadi penanda bahwa nilai-nilai itu masih diakui dan dijaga. Bahwa dalam dunia yang serba cepat dan komersial, produk yang lahir dari ketulusan masih memiliki tempat dan kekuatan untuk bertahan.
Bagi banyak penggunanya, Kutus-Kutus telah menjadi bagian dari rutinitas hidup sehat. Digunakan untuk anak-anak, orang tua, bahkan sebagai pendamping terapi, minyak ini menjadi simbol pendekatan holistik dalam merawat tubuh.
Hal ini tak lepas dari filosofi sang pembuat. Babe percaya bahwa tanaman memiliki roh, dan ketika diramu dengan niat baik serta tata cara yang tepat, mereka mampu menyatu dengan energi tubuh manusia.
Meski sukses secara komersial, perjalanan Kutus-Kutus tak luput dari bayang-bayang sengketa hukum dan perebutan merek. Namun Bambang memilih jalur yang tenang, mengumpulkan bukti, dan mempercayakan semuanya pada proses hukum.
Kini setelah menang, ia tidak ingin larut dalam euforia.
“Ini bukan tentang siapa yang menang atau kalah. Ini tentang menjaga sesuatu yang sakral tetap berada di tangan yang memahami maknanya,” katanya.
Kutus-Kutus kini siap melangkah ke fase baru: memperkuat kembali kualitas, memperluas distribusi, namun tetap menjaga akar spiritual dan budayanya.
Lebih dari itu, kisah ini menjadi pengingat bahwa produk lokal bisa menjadi bagian dari gaya hidup modern, asal dibuat dengan ketulusan dan dilindungi dengan kesadaran hukum.
“Saya ingin generasi muda Indonesia tahu, bahwa meracik sesuatu dari alam, dengan rasa hormat dan cinta, bisa menjadi karya besar. Kutus-Kutus adalah buktinya,” pungkas Bambang.
Dan kini, setelah badai hukum mereda, sang minyak pulang ke rumahnya, ke tangan yang meraciknya pertama kali, dengan cinta, untuk penyembuhan dan keseimbangan hidup. (RIE)