Jakarta, Voicemagz.com– Setelah sempat mondok, dan tiwikrama hampir setahun di meja kerja Doddi Ahmad Fauji selaku editor buku puisi “Mengheningkan Puisi”, akhirnya buku karya Benny Benke, ini bersiap menemui pembacanya dengan caranya sendiri.
Buku setebal 140 halaman, bernomor ISBN 978-623-7837-39-8, Cetakan Pertama, Januari 2022 terbitkan SituSeni Bandung, ini merangkum 49 sajak.
Yang ditulis Benny Benke dari tahun 2004 hingga tahun 2021. Dengan berbagai latar peristiwa di sejumlah kota yang pernah disinggahinya. Dari Moskwa, St. Petersburg, Tsarkoye Selo, Tula, Berlin, Cannes, Juan Les Pains, Monaco, Madinah, Mekah, Tokyo hingga Jakarta, tentunya.
Puisi prosa ini, menurut Bre Redana, kolumnis dan novelis sohor itu menjuluki bunga rampai Mengheningkan Puisi, ini ditulis Benny Benke dengan pilihan bahasa yang benderang, sebagaimana prosa acap menuturkan kisahnya, dengan liris, lirih bahkan seringkali berderak-derak.
Meski menurut Doddi Ahmad Fauji
keterangan yang sudah jelas serta dianggap benderang pun, bila coba direnungkan kembali secara intrinsik dan ekstrinsik, berulang-ulang dan intensif, ternyata bisa tertangkap sisipan yang simbolik.
“Nah, laporan perjalanan yang dilakukan oleh Benny, selaku jurnalis yang semula berasal dari kata ‘journ’ kemudian terdapat kata journey, dan akhirnya menjadi journalist atau wartawan, adalah puisi-puisi muhkamat yang perlu direnungkan, yang mengajak pembaca untuk benar,” kata Doddi Ahmad Fauji, mantan penjaga halaman Sastra Harian Media Indonesia, itu.
Puisi-puisi yang ditulis Benny Benke dalam antologi ini, imbuh DAF, demikian Doddi biasa disapa,
berdiri di antara intuisi Kun dan naluri pemaparan muhkamat (transparan). Tapi, se-transparan apapun puisinya, tidak semua pembaca akan mafhum, terlebih bagi mereka yang tidak pernah mengalami apa yang sudah dialami oleh Benny.
“Adalah amat penting bisa meng-alam-i, sebab pengalaman akan menjadi pengetahuan, dan pengetahuan yang direnungkan secara intens dan konsisten, kemudian berhasil ditangkap saripatinya, lalu dirumuskan, itulah dia yang diberi istilah dengan ilmu praktis atau teori. Nah, ada banyak teoritikus tapi sulit dipahami, atau terasa tidak membumi, bisa jadi itu teori hanya meminjam,” katanya lagi.
Pendapat sedikit berbeda dikatakan Bre Redana. Menurut mantan wartawan Kompas ini, meski pada awalnya ada perasaan minder menghadapi puisi, (menjadi) agak berkurang begitu mendapati bagaimana Benny Benke menuliskan karya-karyanya.
“Puisi-puisi Benny dalam cita rasa saya bersifat prosaik. Dengan seketika, saya menjadi akrab dengannya. Dinamika dibangun dengan kesadaran prosaik. Saya seperti membaca babad. Atau mungkin travelogue,” kata Bre Redana.
Dimulai dengan sajak berjudul, “Indonesia Raya di Tsarskoye Selo”.
//Romo Mudji termangu. Ngungun dan haru, saat Indonesia Raya kumandang di negeri tandang//.
Demikian kalimat awal sajak ini. Benny menceritakan perjalanannya ke Russia. Judul demi judul selanjutnya, diurutkan sesuai risalah perjalanan. Usai dibuka dengan Indonesia Raya, mulailah Benny bercerita mengenai berbagai tempat yang dikunjunginya.
Ini yang dimaksud Bre Redana, di balik teknis penulisan sajak Benny, Bre Redana melihat penyiasatan teknis yang dia akrabi.
“Benny tidak sekadar menyebut nama tempat yang diinjaknya, tapi juga memberi refleksi mengenai sejarah, kenangan, tokoh-tokoh yang pernah hidup di dalamnya, dan lain-lain. Itulah sumbangan bahasa sebagai alat komunikasi, ekspresi, imajinasi, dan kognisi,” terang Bre Redana.
Seperti saat Benny mengagumi metro di Moskwa. Dalam puisi berjudul, “Metro Moskwa” ia melukiskan, marmernya mengkilap, patung yang agung, mosaik yang asyik, kaca patri yang setiti. Dia memperhatikan rima. Sekaligus menggunakan kata yang menjelaskan sikap amat penting, ‘setiti’.
‘Setiti’ adalah kosa kata bahasa Jawa. Kini jarang dipakai, dan banyak orang tak tahu lagi maknanya. Lihat relasi antara bahasa dan sikap manusia.
Begitulah puisi yang memperlakukan kata sebagai azimat bekerja. Puisi Benny, menurut Bre Redana, digunakan untuk menguak cakrawala dan meruapkan daya hidup.
Tanpa puisi, dunia akan terasa sempit dan kering. Dengan kesadaran dinamika naratif tadi, Benny menyusun puisi prosaiknya, tidak sekadar untuk menorehkan kesannya tentang Moskwa, Cannes, Monte Carlo, Berlin, dan lain-lain tempat yang pernah dikunjunginya. Ia kemudian juga menggugat kekuasaan yang semena-mena.
Dalam sajak “Pulang” secara panjang lebar, dia menceritakan penderitaan para eksil kita yang terlunta-lunta di luar negeri, karena kebengisan rejim Orba-Harto. Mereka adalah para bibit unggul yang oleh pemerintahan Sukarno dikirim untuk sekolah di luar negeri. Ketika Sukarno dikudeta Harto, orang-orang tadi tidak bisa lagi pulang ke Indonesia.
Mereka terdampar di negeri orang, menjadi tukang cuci piring, baby sitter, dan lain-lain. Ada yang bisa bertahan, ada yang mati di kamar kos-kosan, begitu Benny melukiskan. Kalau kita melihat sejarah, sejak itulah negeri ini kian bangkrut dari segi pemikiran.
“Kita kehilangan putra-putra terbaik. Perlahan-lahan kita merosot jadi bangsa medioker. Dengan Mengheningkan Puisi, Benny Benke sejatinya telah menggenapkan diri sebagai wartawan cum sastrawan; sastrawan cum wartawan. Sohih!,” kata Bre Redana.
Wilayah bermainnya Benny, menurut Bre Redana, jelas: independensi dan kebebasan. Misinya tak kalah jelas: memberi penghiburan pada yang lemah, menggugat yang mapan dan berkuasa.
Segendang sepenarian, sastrawan cum wartawan senior Triyanto Triwikromo mengatakan, mengutip Goenawan Mohamad yang mengingatkan, “Untuk mencapai kekayaan ekspresi yang hanya bisa dicapai oleh puisi, sang penyair memang harus ‘lupa’. Apa saja yang masuk ke dalam karyanya harus luruh dalam lethe.”
Apakah pekerjaan mengheningkan puisi dan melupakan sunyi menjadi tindakan yang sia-sia? Bisa jadi. Akan tetapi bagi Benny Benke, mengheningkan puisi adalah ikhtiar tak kunjung habis.
Karena itulah, dia melakukan penyaringan jejak dan kenangan dengan ketat. Tentu tindakan itu merupakan penjauhan terencana terhadap keriuhan dan periuhan.
Pemunculan diksi ‘termangu’, ‘ngungun’, ‘malihrupa’, ‘baheula’, ‘bumi hangus’, ‘surga’, ‘dingin’, ‘tak ada’, ‘tengah malam’, atau ‘embun’, ‘meneng’, misalnya, dari bawah sadar, adalah ikhtiar untuk menuju ke sepi. Menuju ke pulang. Menuju ke situasi yang digambarkan dalam “Katanya”: Puisi pergi saja. Sajak Pulang ke rumah rimanya. Tenggelam di kedalamannya.”
Bahkah secara radikal aku lirik bilang: tidak butuh lagi katakata. Tentu puisi tanpa kata-kata adalah puisi yang memuja keheningan, meskipun tak akan mungkin keheningan itu dicapai.
Sekuat-kuat keheningan hendak dicapai: air mata hanya yang muncul. Kata-kata pulang ke rumahnya. Tak ada artinya.
Itu situasi yang tak pernah paripurna. Yang dalam sajak “Di Maqam Nabi” disebut oleh Benke sebagai: Tiada henti/ Hingga nanti.
Jadi memang harus direlakan, betapa puisi tak akan pernah hening. Meski ia bisa kehilangan kata-kata.
“Jadi aku lirik Benke sudah benar, mengheningkan puisi secukupnya saja, dengan cara sederhana. Yang penting terukur kedalamannya. Tak perlu berheboh-heboh dengan segala ikhtiar karena pada akhirnya puisi akan terus bersuara,” kata Triyanto Triwikromo, pengampu halaman Sastra di Harian Suara Merdeka, itu.
Bagaimana dengan timbangan Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri. Seberapa kuat dan “bunyi” 49 puisi Benny Benke yang terangkum dalam buku puisi Mengheningkan Puisi?
Menurut SCB, demikian bang Tardji biasa disapa, buku puisi Benny menyoroti berbagai masalah sosial, politik, cinta, serta renungan kehidupan lainnya tampil dalam buku ini.
“Mengheningkan Puisi sebagian besar ditulis dengan bahasa prosa. Kiranya tidak mudah menyimpan atau menyamarkan, atau
menyarankan puisi pada baris atau larik bahasa prosa, yang ditulis, saya kira, dengan lebih mengutamakan spontanitas dibanding
kewaspadaan dalam memilih diksi,” kata SCB.
Meski demikian, SCB tetap mengakui menyenangi sejumlah puisi dalam buku yang diedarkan secara gerilya ini.
“Saya suka sajak berjudul “Stasiun dan Kereta Api”. Bagi saya, larik-larik puisi tersebut yang prosaik, bisa menyamarkan puisi yang layak untuk direnungkan. Juga ada lagi beberapa sajak yang
saya suka, antara lain yang berjudul “Eja”, “Mengheningkan Mamah, “Embun”, “Katanya”, “Penerimaan””, katanya.
Beberapa sajak lain, imbuh SCB, baginya, terkesan sebagai laporan “jurnalistik” atau pariwisata.
“Kiranya, hemat saya, yang dicari dalam puisi bukan kalimat berita yang tetap sekedar berita, tapi kalimat berita yang menjelma menjadi kalimat (mengandung) hikmah, seperti tertuang dalam beberapa judul puisi di buku ini,” pungkas Sutardji Calzoum Bachri./Mik