JAKARTA, VoiceMagz.com – Delegasi Karya Cipta Indonesia (KCI) sebagai salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia menggelar audiensi dengan Ketua DPR RI di Gedung DPR Jakarta.
Delegasi yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum KCI, Dharma Oratmangun didampingi Ketua Dewan Pembina, H. Enteng Tanamal ini diterima langsung Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo yang didampingi anggota Komisi III yang sekaligus mantan staf Ahli Kementerian Hukum dan HAM, M Nurdin.
Dalam pertemuan tersebut Dharma beserta rombongan dihadapan Ketua DPR RI selain menyampaikan beberapa hal menyoal eksistensi LMK dan LMKN dalam industri musik Indonesia sesuai amanat UU No 28/2014 tentang Hak Cipta di dalam rangka Pengembangan Ekonomi Kreatif Nasional untuk Kesejahteraan Pemilik Hak Cipta dan Hak Terkait, juga menyampaikan beberapa pengaduan tentang berbagai hal yang dirasa mengganjal.
Seperti kita ketahui, keberadaan LMK sebagaimana yang termuat dalam UU No 28/2014 tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa lembaga ini adalah Institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
Selain itu delegasi KCI juga menyampaikan ketidak konsistensinya dari Kementerian Hukum dan HAM dalam soal penulisan LMKN. Pada Pasal 87 dan 88 mengatur jelas tentang LMK. Kemudian Pasal 89 menjelaskan tentang LMKN. Disitu LMKN dengan ‘n’ ditulis dengan huruf kecil, bukan dengan huruf besar (kapital). Namun oleh Kementerian Hukum dan HAM ditulis huruf N dengan huruf besar (kapital).
Pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia Nomor 29/2014 tentang Tata Cara Permohonan dan Penerbitan Izin Operasional serta evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif yang mana pada Bab I Ketentuan Umum di Pasal 1 ayat 7 dan 8 LMKn sebagaimana dalam UU No 28/2014 tertulis ’n’ dengan huruf kecil, maka disini langsung ‘N’ ditulis dengan huruf besar (Capital), namun selanjutnya Peraturan Menteri ini tidak konsisten didalam penulisan ‘N’ dengan huruf besar tetapi di Pasal 7 ayat 4, 5 juga Pasal 8 ayat 3, 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 10, Pasal 12 ayat 1 kembali ditulis ‘n’ dengan huruf kecil sebagaimana yang tertulis dalam Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 tersebut.
Dari sisi Nomenklatuur (penamaan dan penulisan) ini saja telah mengundang tanya secara prinsipiil dari berbagai stake holder (pemangku kepentingan), karena memberikan konsekwensi yang sangat substansial ketika dijabarkan lebih jauh tentang TUPOKSI ‘Tugas Pokok dan Fungsi’ dari LMK dan LMKn sebagaimana Peraturan Menteri nomor 29 tahun 2014 itu merumuskan tentang representasi personil LMKn dan lain sebagainya. Hal lainnya tentang LMK diatur juga dalam Pasal 90, 91, 92 dan 93 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 tersebut.
Peraturan Menteri Nomo 29 tahun 2014 ini telah melampaui batas2 dan norma2 hukum khususnya Pacta Sunt Servanda (Perjanjian antara Para Pihak menjadi Hukum bagi mereka) karena terkesan melalui Peraturan Menteri tersebut maka Hak2 Keperdataan telah dicampuri lebih jauh dan bisa mengakibatkan praktek – praktek Abuse of Power dari Penyelenggaranya, dan hal ini terindikasi kuat telah terjadi. ”, ujar Dharma, (Rabu 6 Juni 2018), di Gedung DPR RI, Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut Dharma dan rombongan juga menyoroti tentang keberadaan dan kinerja LMKn. Menurut pihak KCI setidaknya ada 9 poin yang dirasa perlu disoroti dan disampaikan kepada Bambang Soesatyo selaku ketua DPR RI.
- LMKN masa bhaktinya telah berakhir per tanggal 19 Januari 2018 dan terinformasikan bahwa tanggal 29 Maret 2018 baru dikeluarkan Surat Plt LMKn oleh Dirjen Kekayaan Intelektuan Kumham. Padahal salah satu tugas LMKN sesuai Permen nomor 29 Tahun 2014 itu adalah LMKN untuk pertama kalinya diatur Panitia seleksi oleh Kementerian yang selanjutnya Panitia Seleksi dibentuk oleh LMKN. Namun sebagaimana yang terjadi bahwasanya LMN terbukti ‘tidak mampu’ membentuk Panitia seleksi hingga selesai masa bahkti 3 tahunan.
- Seyogyanya dimasa jeda demisioner tersebut LMKN tidak boleh melaksanakan kegiatan-kegiatan atas nama lembaga tersebut, namun yang terjadi adalah Kementerian Hukum dan HAM tidak segera mengeluarkan Kebijakan resmi tentang eksistensi Lembaga tersebut dan kondisi tersebut digunakan oleh oknum-oknum ex komisioner LMKN untuk berkolaborasi dengan beberapa pihak melaksanakan kegiatan-kegiatan mengatasnamakan LMKN yang sudah demisioner, bahkan melakukan kegiatan kolekting dan lain sebagainya.
- Faktanya adalah LMKn lebih getol melakukan kegiatan ‘Collecting’ padahal LMKn tidak mempunyai kuasa apa pun secara tertulis dari para pemegang/Pemilik Hak Cipta maupun Hak Terkait.
- Menurut penyampaian Komisioner LMKn dalam rapat2 resmi dengan Para LMK disampaikan bahwa LMKN tidak membuat kontrak apapun dengan Para Pengguna, tetapi fakta yang terungkap adalah LMKN mengeluarkan Sertifikan Lisansi Penggunaan Hak Cipta maupun Hak Terkait yang ditandatangani oleh Ketua LMKN Hak Cipta dan Ketua LMKN Hak Terkait, padahal jelas-jelas dalam UU kedua LMKN (Hak Cipta dan Hak Terkait) harus terpisah. Pertanyaannya adalah mana mungkin sebuah badan usaha pengguna (user) menyetor dana tanpa adanya Kontrak maupun Surat Penagihan…. Lalu LMKN sebagai Lembaga yang juga menerima pembayaran melalui bank? dipertanyakan LMKN berbadan hukum apa? Pajaknya bagaimana? Apakah LMKN dalam menyelenggarakan kegiatan collecting tersebut telah mempunyai staf manajemen yang mumpuni dan mampu menjangkau hingga ke seluruh pelosok nusantara?
- Faktanya adalah hingga kini Laporan Pertanggungjawaban Kinerja dan Keuangan belum dapat dipertanggungjawabkan dengan Auditing yang tertanggung jawab sehingga Dewan Pengawaspun belum dapat mengevaluasi kinerja serta pertanggungjawaban keuangan LMKN tersebut.
- LMKN dalam kurun waktu masa bhaktinya (3 tahun) sama sekali tidak melakukan pembinaan kepada LMK-LMK yang baru berdiri agar mampu menyelenggarakan kegiatan manajerial baik untuk operasional Collecting hingga Distribusi. Tetapi LMKN terlalu sibuk untuk melaksanakan kegiatan collecting, alhasil hingga selesai masa bakti LMKN ini dana yang sudah keburu terhimpun tidak dapat didistribusikan bahkan belum dapat dipertanggungjawabkan dengan audit yang terukur dan tertanggung jawab. Baru di penghujung masa bhakti lalu LMK – LMK diminta untuk membuat formulasi administratif agar bisa mendukung hal-hal yang sudah dihimpun oleh LMKN tanpa bukti-bukti kontrak secara hukum yang tertanggung jawab. Sesuai Amanat UU 28/2014 dalam pasal 89 jelas-jelas termuat dalam ayat 1 bahwa Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau music dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajemen Kolektif nasional masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut : (a).Kepentingan Pencipta; dan (b). Kepentingan pemilik Hak Terkait. Implementasi dari pasal ini seyogyanya keterwakilan LMK – LMK lah yang ada pada LMKN, bukanlah direkrut para personil yang mayoritas bukanlah representasi dari LMK sehingga yang terjadi seperti yang kasat kita lihat selama ini.
- Begitupun mengenai pengenaan besaran tariff sebagaimana yang telah terlanjur dibuat melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM, jelas-jelas dalam Pasal 89 ayat 3; Untuk melakukan penghimpunan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) Kedua Lembaga Manajemen Kolektif wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran Royalti yang menjadi hak masing-masing Lembaga Manajemen Kolektif dimaksud sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan. Yang terjadi malah LMKn melakukan kajian sepihak lalu diteruskan kepada Menteri Hukum dan HAM cq.Dirjen Kekayaan Intelektual, sehingga keluarlah Surat Keputusan Penetapan Tarif melalui Kementerian Hukum dan HAM yang jauh dari azaz kelaziman yang berlaku selama ini, bahkan dalam kenyataannya LMKn mengamini adanya praktik-praktik pemberian discount bahkan cenderung bisa dikatakan pungli oleh oknum-oknum yang pada gilirannya LMK di ‘faith a comply’ untuk mempertanggung jawabkan pos tersebut didalam laporan pertanggung jawaban yang diaudit dengan dalih demi memperlancar situasi karena sudah harus disyukuri bahwa para User (pengguna) mau membayar.
- LMKn seharusnya lebih berkonsentrasi pada fungsi untuk menyusun berbagai kebijakan terkait Manajemen Kolektif di bidang Lagu/Musik, juga melakukan fungsi-fungsi Pengawasan, Penyuluhan serta Pembinaan bagi LMK dan juga User (Pengguna), dlsb yang lebih bersifat non-eksekutorial sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan LMK-LMK bahkan akhirnya mengakibatkan kondisi seperti sekarang ini.
- Hubungan Kerja anatara LMK dan LMKn harus dilakukan sesuai dengan amanat UU 28 tahun 2014 yang kemudian harus dijabarkan lebih jelas dengan Peraturan Menteri sehingga tercipta iklem yang sehat didalam menjawab kebutuhan para pemilik Hak Cipta / Hak terkait serta dengan tidak menghiraukan kepentingan para user (pengguna) yang kesemuanya itu bermuara pada kesejahteraan para pemilik Hak Cipta / Hak Terkait didalam rangka Pengembangan Ekonomi Kreatif Nasional sebagaimana yang telah menjadi Skala Prioritas Pembangunan Nasional.
Tanggapan Ketua DPR RI
Menanggapi apa yang disampaikan oleh delegasi dari KCI Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengaku akan menjembatani penyelesaian konflik eksistensi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKn) dalam industri musik di Tanah Air. Jangan sampai permasalahan antara LMK dengan LMKn merugikan para pencipta lagu dalam memperoleh hak ekonominya.
“DPR RI pada November 2014 telah mengesahkan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam rangka pengembangan ekonomi kreatif nasional untuk kesejahteraan pemilik hak cipta dan hak terkait. Semangat UU Hak Cipta agar para saudara-saudara kita para pencipta lagu bisa mendapatkan hak keekonomiannya, bahkan sampai 70 tahun setelah dirinya meninggal,” ujar Bambang Soesatyo.
Berdasarkan pasal 87 UU Hak Cipta disebutkan setiap pencipta lagu/ musik, penyanyi, pemusik, pelaku pertunjukan, produser fonogram, dan pemilik hak terkait lainnya harus menjadi anggota LMK. Tujuannya, agar mereka dapat memperoleh hak ekonomi atas karyanya, termasuk royalti. Dengan kata lain, LMK adalah lembaga yang berhak memungut royalti dari para pengguna hak cipta dan hak terkait.
“Saat ini, LMK yang telah mendapat SK dari Kementerian Hukum dan HAM RI berjumlah 6 LMK yang terbagi dalam 2 kelompok, yaitu LMK Hak Cipta dan LMK Hak Terkait. LMK Hak Cipta mencakup LMK Karya Cipta Indonesia (KCI), LMK Wahana Musik Indonesia (WAMI) dan LMK Royalti Anugrah Indonesia (RAI). Sedangkan, LMK Hak Terkait mencakup LMK PAPPRI, LMK Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI), dan LMK Anugrah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI),” jelas Bambang Soesatyo lebih lanjut.
Banyak hal yang disampaikan delegasi KCI kepada Ketua DPR RI tersebut, termasuk didalamnya terkait penunjukan plt komisioner LMKn oleh Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM yang dinilai menyalahi aturan. Seharusnya, komisioner LMKn dipilih melalui panitia seleksi yang dibentuk oleh LMKn.
“KCI juga mengadukan adanya oknum-oknum ex komisioner LMKn yang terus melakukan kegiatan-kegiatan mengatasnamakan LMKn padahal mereka sudah demisioner. Ex komisioner LMKn juga masih melakukan kegiatan ‘collecting’, padahal menurut KCI LMKn tidak mempunyai kuasa apapun secara tertulis dari para pemegang atau pemilik hak cipta atau hak terkait,” jelas Bambang.
Sementara itu Dharma Oratmangun mengaku, sejauh ini KCI menilai tupoksi LMKn sebagaimana diatur Permen 29 Tahun 2014, dianggap telah melampaui batas dan norma hukum, khususnya Pacta Sunt Servanda (Perjanjian antara Para Pihak menjadi hukum bagi mereka). Melalui Permen ini, LMKn dianggap mencampuri hak-hak keperdataan yang sebelumnya sudah menjadi hak LMK,” tutur Dharma.
Lebih lanjut Dharma juga menyampaikan bahwa; “Para musisi sebagai pencipta karya jelas dirugikan, karena menurunkan pendapatan mereka. Dahulu kami bisa distribusikan Rp 19 milyar lebih kepada para pencipta karya yang kami urus, namun kini sudah tidak bisa lagi karena keberadaan LMKn,” tutur Dharma lebih lanjut.
Selanjutnya bambang Soesatyo yang mantan Ketua Komisi III DPR ini akan meminta kepada Komisi III DPR RI untuk segera melakukan rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM beserta jajaran terkait lainnya. Bamsoet juga meminta LMK dan LMKn berkerja sesuai dengan UU Hak Cipta.
“Hubungan kerja antara LMK dan LMKn harus disesuaikan dengan amanat UU No. 28 tahun 2014 sehingga tercipta iklim yang sehat guna menjawab kebutuhan para pemilik hak cipta dan hak terkait. Sehingga, kesejahteraan para pemilik hak cipta dan hak terkait dalam rangka pengembangan ekonomi kreatif nasional bisa terwujud,” pungkas Bambang Soesatyo.
LMK KCI sendiri melalui Ketua Umumnya berharap agar apa yang disampaikan kepada Ketua DPR RI ini bisa segera diselesaikan.
Kami berharap semoga permasalahan yang kami sampaiakan kepada ketua DPR RI ini bisa segera terinfokan ke Menkumham, kemudian ditindak lanjuti dengan Rapat Kerja di komisi III, yang mengundang LMK KCI dan LMKn. Biar Clear semua permasalahannya,” tutup Dharma.
Dari delegasi KCI, selain Ketua Umum KCI Dharma Oratmangun dan Ketua Dewan Pembina KCI H. Enteng Tanamal, turut pula hadir Tedjo Baskoro (Sekretaris Jenderal), Adriyadie (Bendahara), Tito Soemarsono (Wakil Ketua), Lisa Ariyanto (Wakil Sekretaris), Ekko Saky (Wakil Sekretaris), dan Tiena Sopacua (General Manager). /Irish.