JAKARTA, VoiceMagz.com – Suka tidak suka, fakta bahwa film horor nasional kerap menghasilkan film box office harus kita terima. Itu bisa mengindikasikan jika genre ini masih mampu menghibur penontonnya.
Walau bukan acuan yang baku, film horor yang menghibur adalah film yang sukses mengelola ketakutan penonton.
“Film horor yang menghibur itu yang memproduksi ketakutan yang rasional atau masuk akal. Film horor itu memiliki fungsi autotomy-nya sendiri, sebuah kemampuan untuk melepaskan dan menyelamatkan dirinya sendiri. Sesuatu yang tidak masuk akal, tetapi jadi masuk akal karena memggunakan teori yang rasional,” papar Oddy Mulya Hidayat, sutradara dan Executive Poducer dari Maxima Pictures saat berbicara dalam diskusi bertema ‘Menjadikan Film Horor Sebagai Tontonan Menghibur dan Tuntutan Selera’ yang digelar Kumpulan Jurnalis Sinema Indonesia (KJSI), Kamis (22/8).
Diakuinya, film horor masih menjadi genre film yang banyak ditonton dan memiliki market yang luas.
“Film horor memiliki pasar yang intens atau stabil. Mengapa kita tidak mau mengapresiasi film-film horor. Sementara film horor Indonesia tengah membuka pasar barunya di Malaysia dan negara-negara ASEAN lainnya. Jangan film horor terus menerus dijadikan anak tiri, padahal film horor penyumbang penonton yang bagus,” ujar Oddy.
Alasan inilah salah satunya yang membuat Oddy merasa perlu adanya festival film horor di luar festival film yang ada di tanah air saat ini.
Wacana Oddy ini pun diamini Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang juga Ketua Umum Perkumpulan Artis Film Indonesia (Pafindo), Bagiono Prabowo.
“Berikan ruang bagi film horor. Per tahun saja 150 film horor di produksi dan hanya 130 film yang masuk bioskop. Sehingga perlu adanya festival film horor tersendiri. Ini harus di akomodir sebagai landasan industri dan perspektif kedepannya,” ucap Bagiono di kesempatan yang sama.
Ditegaskannya, hingga saat ini baru film horor yang punya kontribusi bagus dalam mendulang jumlah penonton. Dan itu menurutnya harus diapresiasi.
“Kalau harus menjawab kenapa film horor yang masih bisa mendulang banyak penonton? Jawabannya, ya karena memang apresiasi penonton kita masih di level itu,” beber Bagiono.
Oddy menambahkan, hingga saat ini praktis belum ada penghargaan khusus bagi film horor nasional di festival tanah air.
“Yang menang FFI misalnya, nggak banyak juga ditonton, lalu buat apa (menang)? Ini bukan saya anti FFI lho,” ucap Oddy.
Sebagai pamungkas, Pramu Risanto, pemerhati masalah sosial yang juga menjadi pembicara dalam diskusi ini menyebut, menjadi tugas semua pihak menaikan harkat dan martabat film horor tanah air.
Film horor Indonesia sebenarnya kerap menjadi pioner, namun belakangan menjadi tertinggal lantaran stakeholder perfilman kita sering lalai akan keberadaannya.
“Ini menjadi PR buat kita untuk terus memperbaiki. Karakter film horor Indonesia pun harus terkait pesan moral yang akan berpengaruh positif pada kehidupan sehari hari. Setidaknya jangan terus memenuhi selera pasar atau dengan kata lain, mencoba mendidik dengan memulai sesuatu yang baik meski harus melawan arah. Jangan menyesatkan, karena ini akan menjadi beban moral filmmaker-nya,” ucap Pramu. (NVR).