Gelut Pikiran’ dalam Penjurian FFW 2025

oleh
oleh

Oleh Akhlis Suryapati

JAKARTA, VOICEMAGZ.com – Semangat sebuah kompetisi, termasuk dalam festival film, adalah untuk menjustifikasi capaian yang kita anggap terbaik. Sudut pandang terbaik bisa berasal dari perspektif yang beragam. Seperti halnya tentang kebenaran; orang boleh saja eyel-eyelan dari pagi sampai subuh perihal kebenaran.

Dalam demokrasi, kebenaran ditentukan oleh selera suara mayoritas berdasarkan pengalaman. Dalam ilmu pengetahuan, kebenaran ditentukan oleh akal pikiran melalui logika dan analisis rasional. Masing-masing disebut kebenaran orang banyak dan kebenaran diri sendiri.

Di luar keduanya, ada kebenaran sejati. Itu yang senantiasa dicari oleh orang—yang dalam pencariannya nyaris tidak pernah mencapai final. Maka filsafat memberi pengantar, dan agama wahyu menyediakan petunjuk, menuju arah kebenaran sejati. Filsafat maupun agama pun memiliki banyak ragam perspektif. Namun umumnya sepakat, justifikasi kebenaran sejati bersifat mutlak oleh Tuhan, bukan oleh manusia dengan akalnya. Maka ada istilah wallahualam.

Baiklah. Saya bicara tentang festival film, khususnya kompetisi dalam sebuah festival film.

Ada banyak tagline, jargon, dan arah-tujuan yang bisa dituliskan. Namun inti dari sebuah kompetisi selalu adalah berlangsungnya deteksi (melalui penjurian) atas sesuatu—dengan parameter yang dibuat untuk menemukan barometer sebagai titik ukur capaian maksimal dari sesuatu yang dikompetisikan, pada rentang waktu tertentu. Barometer, air raksanya bisa naik bisa turun, tergantung waktu dan kondisi badan ketika dokter atau suster memeriksanya, meneliti, mendiagnosa.

Dalam hal kompetisi di festival film, deteksi dilakukan terhadap karya-karya film, untuk menemukan petunjuk yang menjadi dasar penetapan sebuah karya film yang memperlihatkan capaian maksimal. Apakah capaian itu disebut dengan istilah Terbaik, Terpuji, Terlaris, Terfavorit, dan sebagainya, terserah mau memilih dari kacamata (perspektif) mana. Umumnya, dalam kompetisi di festival film—tingkat nasional, regional, maupun internasional—capaian maksimal disebut sebagai The Best. Film Terbaik!

Masalah The Best atau Film Terbaik ini juga bisa dieyel-eyel melalui perspektif beragam. Ada The Best versi Piala Oscar (Academy Awards), Palme d’Or (Cannes), Golden Bear (Berlin), Grand Prix (Tokyo), Vision Award (Busan), Piala Citra (Indonesia), dan seterusnya. Semua itu, tenaga pendeteksi (penilai)nya bernama Juri—kumpulannya disebut Komite Juri, Dewan Juri, atau Badan Juri.

Pada Festival Film Sundance, yang sering disebut sebagai festival film independen terkemuka (di Amerika), ada semacam demokratisasi dan egalitarianisme yang mewujudkan kerendahhatian Juri agar tidak otoriter dalam urusan penetapan The Best. Penghargaan dalam Festival Film Sundance yang merupakan hasil deteksi Juri disebut Grand Jury Prize (Hadiah Juri Utama). Namun di festival itu juga ada Audience Award (Hadiah Penonton), Filmmakers Trophy (Piala Pembuat Film), Waldo Salt Screenwriting Award, dan Excellence in Cinematography Award.

Nah, selanjutnya saya ngomong tentang Festival Film Wartawan (FFW) 2025 dengan nama penghargaannya yang disebut Piala Gunungan. Saya merasa perlu menyampaikan pandangan dan pemikiran tentang hal ini, karena menjadi bagian dari orang yang menjadi tenaga pendeteksi film-film yang beredar ke publik dalam kompetisi di Festival Film Wartawan itu. Sebagai salah satu Juri—di antara lima orang yang disebut Juri Akhir. Pekerjaannya menindaklanjuti pekerjaan deteksi oleh 21 wartawan yang disebut Juri Awal. Ibarat Komisioner KPK, menerima hasil kerja Penyelidik dan Penyidik, untuk selanjutnya melakukan penetapan. Kalau ibarat dokter, menerima hasil proses diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk menuju keputusan tindakan: mau dinyatakan apa pasien itu!

Berdasarkan konstitusi (buku putih, pedoman) yang merupakan garis-garis besar haluan penjurian oleh Panitia, akan ditetapkan Film-Film dan Unsur-Unsur Terbaik (The Best) dari film-film Indonesia yang beredar di publik—sejauh ini pengertiannya adalah Film Bioskop. Penetapannya terbagi dalam kategori-kategori genre, yaitu Drama, Komedi, dan Horor. Kita selalu membayangkan beberapa kemungkinan saat penetapan The Best-The Best itu disampaikan ke publik. Melintas begitu saja (adem-ayem) sebagai salah satu versi dari sekian banyak versi hasil kompetisi (penilaian) festival film. Atau akan ada gelitik kontroversi sebagai isyarat bahwa parameter capaian maksimal itu memang untuk ‘menghidupkan pikiran’. Menjadi bahan eyel-eyelan dari pagi sampai subuh. Dengan kata lain, festival terselenggara bukan sekadar tradisi selebrasi flexing sana-sini, melainkan juga sebuah peristiwa budaya.

Tentu, FFW paling mudah jika berlindung di balik eksklusivitas perspektif wartawan. The Best versi wartawan, begitu kira-kira. Jika pun hasilnya sama atau berbeda dengan The Best-nya versi FFI, FFB, JAFF, JFW, Seleksi Oscar, dan lain sebagainya, akan dianggap wajar dan baik-baik saja. Pun bisa dimengerti, jika wartawan mengambil sudut pandang paling mudah dan lekat sesuai entitasnya; yaitu film sebagai Media Komunikasi Pandang Dengar. Sehingga yang dianggap memiliki capaian tertinggi (The Best) adalah film dengan kemampuan maksimal menjadi media komunikasi publik dengan basisnya memenuhi unsur 5W+1H (what, who, when, where, why + how).

Progres FFW 2025 pekan-pekan ini, berlangsung tahapan penjurian menuju penentuan The Best, setelah hasil dari Dewan Juri Awal diserahkan kepada Dewan Juri Akhir. Sudah dua kali ada pertemuan semua pihak, termasuk Panitia di dalamnya. Saya melihat, pada setiap pertemuan berlangsung Gelut Pikiran yang tiada habis-habisnya. Mungkin karena komposisi Juri Akhir terdiri dari latar belakang perspektif bhineka tunggal ika. Berbeda-beda akar, satu penglihatan (dalam melihat film). Selain berasal dari entitas wartawan (dan kritikus), ada akademisi, filmmaker, artis, produser, dan pengamat budaya. Namun mungkin juga, karena sebenarnya kita jenuh dengan suasana adem-ayem festival film. Kalimat lain dari suasana adem-ayem, adalah tidak terkoreksinya iklim pendangkalan pikiran dalam penyelenggaraan perfilman—antara lain sebagai akibat—belakangan ini hasil kompetisi di festival film semakin kurang mendapat perhatian (apresiasi) masyarakat. Orang bilang, kehilangan marwah.

Nah, muncul semangat dalam FFW 2025 untuk menjadikan festival ini sebagai ajang penghargaan sinema Indonesia sesungguhnya. Modal utamanya tentu bukan fasilitas dan sumber daya, melainkan ‘pemikiran’. Dirujuklah ulang melihat film sebagai Media Estetika, Pengetahuan, dan Komoditas Kreatif. Para juri nampaknya sepemahaman, dalam penilaian akan menempatkan estetika pada peringkat pertama, pengetahuan pada peringkat kedua, dan film sebagai komoditas kreatif pada parameter peringkat ketiga.

Dengan semangat seperti itu, Gelut Pikiran semakin tidak clear. Diskursus seputar puncak capaian maksimal estetika saja, variabel parametrik dan standar untuk melakukan penilaian, benar-benar sulit diverbalkan. Karena memang estetika mudahnya diabstraksikan berdasarkan tangkapan Cipta (pikiran/ide), Rasa (perasaan/hati nurani), dan Karsa (kehendak/dorongan bertindak). Tiga hal itulah yang membentuk kebudayaan. The Best dalam FFW 2025 akan mengacu pada pilar itu.

FFW 2025 lalu sepakat akan ada Penghargaan Spesial Juri sebagai deklarasi Capaian Maksimal The Best Film Indonesia. Semula penghargaan akan bernama Barometer Estetika Film Indonesia, eh sebagian merasa hiperbola dan bombastis. Diperhalus menjadi Ikhtiar Capaian Puncak Estetika Film Indonesia. Eh kok sepertinya kurang pede dan ragu-ragu.

Jadi, sementara ini biarlah para Juri FFW-2025 terus saja Gelut Pikiran—soal nama penghargaan spesial—sampai saatnya mereka mengumumkannya di acara puncak, bulan November.

(akhlis suryapati,13 oktober 2025)

No More Posts Available.

No more pages to load.