Jakarta, Voicemagz.com- Panitia Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) 2022 kembali menggelar webinar. Kali ini thema yang diangkat adalah Nasionalisme dan Film. Webinar kali ini merupakan webinar ke-3 dari rangkaian acara menuju malam puncak FFWI 2022 yang akan digelar pada 28 Oktober mendatang.
Dalam webinar ke- 3 yang dipandu oleh Wartawan Senior Rita Sri Hastuti ini menghadirkan tiga narasumber yaitu produser dan aktivis sosial media Denny Siregar dan penulis buku Jejak Usmar Ismail yaitu Zinggara Hidayat, serta Edi Suwandi Ketua Tim Pokja Alif Direktorat Perfilman Musik dan Media (PMM) Kemendikbud Ristek RI.
Seperti kita ketahui, makna kata Nasionalisme tentu bisa tumbuh dan diaplikasikan ke berbagai hal dalam tatanan kehifupan masyarakat. Hal itu bisa saja ditunjukkan dalam olahraga, pakaian, seni dan lain sebagainya. Termasuk didalamnya seni musik dan film.
Denny Siregar menterjemahkan makna Nasionalisme malalui film yang diproduserinya yaitu “Sayap-Sayap Patah”. Film “Sayap-Sayap Patah” yang disutradarai Rudi Soedjarwo dengan naskah dituis Monty Tiwa, Eric Tiwa dan Alim Sudio ini kata Denny dirancang mengangkat kisah tentang manusia, dikonsep sebagai film drama romatis.
Ada action, tetapi hanya sebagai bumbu dan ada pemain yang namanya terkenal dan disukai penonton. Denny mengingat film sejenis “Mumbai” dan “Die Hard””, yang berkisah tentang polisi ditembak teroris dan meraih sukses.
“Namun di ‘Sayap-Sayap Patah, saya tidak membuat film nasionalisme. Saya hanya ingin membuat film yang mengangkat kisah orang yang telah berjasa untuk negara. Ada orang-orang yang sebetulnya sangat layak untuk kita hargai. Dan pikiran kami kemudian terpusat pada peristiwa Marko Brimob!” kata Denny Siregar di Jakarta pada Jum’at (16/09/22).
Film ini diharapkan Denny bisa menjadi catatan sejarah tregedi yang tetap diingat sebagai sejarah.
“Sayap-Sayap Patah“ adalah film drama yang sangat entertaint, tapi tidak meninggalkan sisi cinta pada negara. “Ada kisah polisi yang kalah, bahkan ada korban di Mako Brimop!” tambah Denny.
Edi Suwandi Ketua Tim Pokja Alif Direktorat Perfilman Musik dan Media (PMM) Kemendikbud Ristek RI yang mendukung acara ini, dalam sambutannya menyebut, di zaman dulu, kata nasionalisme dianggap berat dan sulit diterjemahkan dalam cerita dan gambar.
“Ada kesan, kata itu akan memunculkan karya serius, cenderung kaku dan tidak bakalan laku untuk dinikmati penonton,” ujar Edi
Sebagai sebuah seni, lanjut Edi, kita tahu film tidak hanya digunakan sebagai tontonan.
“Fungsi dan esensi film telah berkembang menjadi media seni yang mampu mentransformasi nilai-nilai kemanusiaan, religi, pendidikan, hingga tentang nasionalisme yang bisa menjadi tuntunan, sekaligus menjadi tontonan yang laku untuk dinikmati penonton.
“Tema nasionalisme bisa mencair dalam cerita yang memuat pesan baik, seperti rela berkorban, menjunjung tinggi persatuan, mau saling bekerja sama, mau saling menghormati dan menghargai perbedaan, sekaligus selalu bangga menjadi warga negara Indonesia,” ungkap Eddy.
Sementara itu Zinggara Hidayat, penulis buku _Jejak Usmar Ismail_ menyebut, nasionalisme dalam film memang tidak diartikan kaku hanya memperlihatkan perlawanan terhadap kolonial, munculnya uniform (seragam) dan bendera.
Zaman berubah, dan ada pula pergeseran pengertian nasionalisme.
“Lebih jauh nasionalisme itu bisa terlihat dari termuatnya dimesi kutural dengan cara yang soft. Karena itu perlu penulis skenario yang cerdas. Idenya harus luar biasa. Dan di dalamnya ada improvisasi!” kata Zinggara.
Ia mencontohkan nasionalisme jaman dulu di dalam film “Tiga Dara” karya Usmar Ismail dengan naskah ditulis M. Alwi Dahlan misalnya.
“Di sana diperlihatkan gaya dansa-dansi, beragam warna musik, fashion dari kebaya hingga baju modern, makanan cemilan, bahkan juga motor skuter yang dipakai oleh pemain. Dimensi kulturalnya masuk semua!’
Sementara itu menampilkan nasionalisme di jaman kini bisa dimunculkan dalam berbagai hal. Selain soal budaya, fashion, jenis makanan tertentu, bisa pula memperlihatkan daerah tertentu dengan lebih detail.
“Misalnya jika lokasi syuting di Papua, bisa diperlihatkan bagaimana kondisi kantor Pemrov Papua seperti apa!”ungkap Zinggar.
Nasionalisme masih kata Ziggar, bisa berubah format dan berganti wajah, tetapi di era globalisasi seperti sekarang ini nasioalisme lebih berkembang ke arah kolaborasi, “bahwa kita sadar hidup sejajar dalam masyarakat global!”
“Apa yang bisa kita produksi di Indonesia, film misalnya. Bisa dikirim ke luar negeri atau ke negeri serumpun. Dengan menggunakan bahasa Melayu maupun bahasa Indoesia. Ini sebetulnya juga bagian dari nasionalisme tersebut!”
Lebih jauh Zinggara mengigatkan, penting untuk melihat dan belajar dari apa yang dilakukan Korea dengan industri keseniannya.
“Kita kenal Kimci dari drama mereka, kita mendengar dan musik mereka. Di jaman globalisasi seperti sekarang ini kolaborasi adalah keniscayaan yang tidak mungkin dihindari.”
Ketua Panitia FFWI, Wina Armada di ujung pertemuan menyebut, “Sayap-Sayap Patah” telah mematahkan mitos, bahwa film yang bersifat nasionalis dan berkaitan dengan kebangsaan, mampu laku untuk diserbu penonton.
“Dari sisi finasial, kalau dihitung ada 2 juta yang menonton Sayap-Sayap Patah, berarti produser minimal mengantongi Rp 40 M. Kita gembira, film yang mengadung nasionalisme, juga bisa menghasilkan angka yang menjanjikan./Irish