Oleh: Irish Riswoyo
Musik di Indonesia sejatinya sudah ada sejak zaman pra sejarah, atau zaman 1500 tahun sebelum masehi. Penelusurannya tentu saja bukan hal mudah , tetapi hal ini setidaknya dikuatkan oleh hasil penelitian dari sejarawan Eropa Alec Robertson dan Denis Stevens, penulis buku Geschichte der Musik 1 dari kota Muenchen Jerman. Pada awalnya musik yang hadir masih berbentuk bunyi-bunyian yang amat sederhana dengan memanfaatkan benda-benda yang ada disekitar kehidupan manusia.
Walaupun masih sesederhana itu, tetapi keberadaanya sudah mampu melampaui batas bahasa, kebudayaan, dan agama yang ada waktu itu. Sedang dalam sejarah perkembangannya, musik-musik asli lokal yang yang tersebar di seluruh Nusantara, banyak dipengaruhi oleh musik-musik dari asia daratan, seper dari India, China, Arab, dan lain-lain. Kemudian berbaur dan berasimilasi hingga sekarang. Voice Magazine disini memang tidak akan memaparkan historinya pada masa lampau secara detil dan lengkap. Tetapi akan mencoba menelusuri perkembangan musik di Indonesia ditilik dari kacamata industry dan masa keemasannya.
Ditilik Dari Segi Bisnisnya
Era Piringan hitam (plat) Sebagai Media rekam dan dagang
Pada awalnya, orang belum berpikir bahwa karya musik itu akan menjadi sebuah komoditi. Artinya, orang belum berpikir kalau karya musik itu dikemudian hari bisa menjadi salah satu sumber penghasilan secara finansial bagi para pelakunya. Bahkan oleh manusia pertama yang menulis atau memainkan komposisi sebuah karya musik sekalipun. Tetapi seiring laju teknologi dan peradaban dunia yang terus berkembang, musik pada akhirnya sanggup menjadi sisi bisnis yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Menelusiri kapan dimulainya bisnis musik di Indonesia sejatinya tidaklah mudah. Tetapi ketika perangkat rekam yang pada masa awal penemuannya baru dijadikan sebagai alat untuk mengabadikan sebuah karya musik ini mulai dikenal secara luas, maka banyak orang berpendapat yang sepakat bahwa dari titik itulah sejatinya bisnis musik sudah dimulai.
Pembaca Voice Magazine mungkin saja ada yang sepakat dengan anggapan ini, tapi mungkin juga tidak.Tetapi kami tidak akan berada diperdebatan itu. Media rekam pertama yang dikenal masyarakat Indonesia secara luas dan sanggup menghadirkan nilai ekonomi secara umum adalah plat, atau lazim disebut piringan hitam. Sedang alat pemutarnya untuk menghasilkan suara disebut dengan gramophone. Pada era ini sejatinya bisnis musik di Indonesia secara terbuka sudah dimulai. Akan tetapi belum menjangkau lapisan masyarakat tingkat bawah, dikarenakan harganya yang terbilang mahal, sehingga kepemilikannya masih sangat terbatas. Untuk mendapatkan itu semua juga bukan perkara mudah, karena kebanyakan masih di impor dari luar negeri. Para pelaku bisnis musik pun secara bertahap mulai memikirkan untuk memproduksi didalam negeri, dengan mengangkat para musisi dan artis-artis lokal yang ada saat itu.
Dengan mulai diproduksinya plat di dalam negeri, maka kebangkitan para musisi dan artis lokal mulai menggeliat. Tak kurang pendiri bangsa Indonesia yaitu Presiden Soekarno, turut memberikan apresiasi yang tinggi terhadap perkembangan musik di Indonesia. Pada sekitar Oktober tahun 1956 Presiden Pertama itu mendirikan studio rekaman dan pabrik piringan hitam pertama di Indonesia di Kota solo yaitu LOKANANTA. Konon makna dari kata Lokananta sangat magis ,yaitu “Suara Dari Surga atau bunyi-bunyian dari surga”. Selain sebagai studio rekaman dan pabrik piringan hitam, Lokananta juga sekaligus dijadikan sebagai label dan distributor.
Dengan berdirinya Lokananta, bisnis musik di Indonesia mulai besar dan mulai meluas. Banyak seniman seniman besar mulai merekam karyanya dan mengedarkan melalui studio Lokananta ini, misalnya; Gesang (Alm), Waldjinah, Zainal Combo, Buby Chen (Alm) dan lain lain. Bahkan tidak hanya musik saja yang direkam dan diedarkan melalui Lokananta, tetapi ada juga kesenian daerah seperti Ketoprak, Dagelan, Wayang hingga pembacaan Alquaran pun direkam disini. Berawal dari sini pula muncul anggapan kalau sebenarnya bisnis musik di Indonesia secara masal dimulai.
Era Kaset
Zaman dan teknologi terus melaju, hal itu berimbas pula pada perkembangan alat rekam audio. Pada tahun 1963, kaset audio pertama kali diperkenalkan oleh Philips di Eropa, sebagai media penyimpanan audio. Tetapi baru pada sekitar tahun 1965 kaset mulai diproduksi secara masal. Kemudian pada tahun 1971 , Advent Corporation menyusul memperkenalkan tape deck model 201 yang mengkombinasikan Dolby Type B dan chromium dioxide (Cr02). Kemudian masa ini oleh kebanyakan orang disebut sebagai cikal bakal lahirnya cassette sebagai media rekam masal, dan Cassette player sebagai alat pemutarnya.
Kalau kita sinkronkan dengan perkembangan musiknya, ternyata pada masa ini pula (sepanjang Tahun 70an) perjalanan musik di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup bagus. Hal itu berdampak besar terhadap perkembangan bisnisnya secara luas. Musik di Indonesia memasuki babak baru, yaitu era industri. Produksi musik meningkat drastis, distribusi jauh lebih luas jangkauannya dan merata ke pelosok-pelosok negeri. Studio-studio rekaman mulau banyak berdiri, Artis dan musisi dari berbagai genre musik mulai bermunculan. Tak kurang puluhan artis solo maupun grup band pada masa pertengahan 60an hingga akhir 70an. Misalnya Koes Plus, Bimbo, The Rollies, The Mercys, AKA, God Bless, De Loyd, Favourites, The Mercys, hingga Soneta dengan Rhoma Iramanya dan lain-lain.
Masyarakat begitu dimanjakan dengan hadirnya artis-artis baru, merekapun menjadi lebih leluasa memilih jenis musik yang disukainya sesuai apa yang ditawarkan industri. Imbasnya Bisnis pertunjukan musik (show) mulai turut menggeliat dan tampak digelar disna-sini. Era Keemasan Musik Indonesia..? Memasuki akhir 70an hingga sepanjang Tahun 80an, pendatang baru di dunia industri musik Indonesia terus deras mengalir dan semakin tak terbendung. Bukan saja dari segi penyanyi, musisi, hingga pelaku Industrinya, melainkan jumlah karya cipta lagu, label dan studio rekamannya. Kalau sebelumnya kita hanya mengenal beberapa label musik lokal semisal Lokananta, Remaco, Yukawi, Naviri, atau Golden Hand dari Surabaya, maka di era ini puluhan perusahaan label musik mulai menggeliat dan bermunculan. Sebut saja nama nama besar seperti Musica Studio, Aquarius, Jackson Record, JK Record, Virgo Ramayana Record, Union Artis, Purnama Record, Pro Sound, Sokha Record, Bens Record, Akurama Record, JK Records dan masih banyak lagi.
Kalau pada era sebelumnya penyanyi atau musisi berformat grup band lebih dominan, kali ini penyanyi solo mulai menjamur dan menggeser format grup. Misalnya; Fariz RM, Chrisye, Iwan Fals, Iis Sugianto, Diana Nasution, Hetty Koes Endang, Ebiet G. Ade, Vina Panduwinata, Mus Mujiono, Christin Panjaitan, Ermy Kulit dan puluhan lagi lainnya. Dilihat dari besarnya jumlah artis/musisi, jumlah studio, jumlah label dan jumlah produksi yang diedarkan serta jumlah perputaran uang disektor ini, anggapan baru pun muncul. Entah benar atau tidak, era ini sering disebut sebut sebagai ”Era Keemasan” musik Indonesia. Bahkan saking pesatnya kemajuan di industri ini, dua perusahaan pita kaset besar dunia BASF dan HDX turut menyokong lajunya bisnis ini, yaitu dengan membuka pabriknya di Indonesia.
Keterlibatan 2 pabrik raksasa pita kaset ini tidak hanya sebagai penyuplai bahan pita kaset saja. Tetapi mulai mengapresiasi para musisi dan penyanyi Indonesia yang secara bisnis mencapai penjualan besar, dengan menghadirkan anugerah-anugerah atau penghargaan-penghargaan ( Award), seperti BASF Award atau HDX Award, yang terbagi dalam berbagai macam kategori. Berkaca pada itu semua, kita bisa tarik kesimpulan, betapa besar perputaran uang di sektor bisnis musik ini. Para produser musik (sebutan pemodal dan pemilik label kala itu) mulai memberikan bonus bagi penyanyi yang kasetnya paling laku terjual mulai dikucurkan. Bentuknya bisa bermacam-macam, bisa berupa bonus rumah, mobil hingga uang tunai.
Sistim promosi pun mulai berkembang, TVRI satu satunya stasiun TV di negeri ini kala itu mulai melihat adanya uang yang bisa ditangkap disini. Program Aneka Ria Safari, Kamera Ria, dan Album Minggu Ini mulai digulirkan. Penyanyi yang ingin ditampilkan disini mengantri, tidak sedikit pula artis yang tidak dapat tampil disini. Pola promosi lain juga melaju kencang, radio-radio di seluruh Indonesia berlomba-lomba membikin Top Chart. Koran dan majalah ramai dengan pemberitaan dan iklan para artis yang baru merilis albumnya. Pendek kata, mata rantai yang turut menopang di bisnis ini memang benar benar berjalan lancar. Bahkan boleh dikata, diantara mereka seperti sudah terjadi semacam simbiosis mutualisme. Semua diuntungkan dengan bergulirnya bisnis musik yang perputaranya sangat cepat ini. Banyak Agen dan ritel bermunculan, toko-toko kaset bertebaran. Sungguh mata rantai bisnis yang luar biasa indah. Era keemasan musik dan bisnisnya memang seperti sedang berada di puncaknya.
Era CD, VCD, dan DVD
Jika kita cermati, sebenarnya di era ini pula dunia recording sudah mulai memperkenalkan penggunaan format CD ( Compact Disc) sebagi media rekam. Tepatnya sekitar November 1982. Namun pada awal awal peluncuranya, masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan format baru ini. Karena alat pemutarnya berbeda dengan pemutar kaset, dimana terlebih dahulu harus memiliki alat pemutarnya atau CD Player. Sekitar dua atau tiga tahun kemudian, masyarakat secara perlahan baru mulai menggemari format ini. Hal itu dimungkinkan karena perusahaan elektronik mulai memproduksi massal media putarnya atau yang dikenal dengan nama Discman atau CD Player.
Dalam perkembangannya, sebenarnya CD dibuat dalam usaha merampingkan media penyimpanan musik dengan memperbaiki kualitas suara yang dihasilkan dari media sebelumnya. Dengan mulai merakyatnya media CD ini, perlahan-lahan menggeser fungsi kaset sebagai media rekam. Kehadiran CD sebagai media rekam terbaru, memberi sinyal bahwa masa tugas kaset sepertinya akan segera berakhir. Puncaknya terjadi menjelang akhir tahunh 90an hingga pertengahan tahun 2000, kaset seakan akan memang telah habis masanya. Di etalase sudah sulit ditemukan, konsumen sudah mulai disuguhi format CD, bahkan VCD (Video Compact Disc) yang memungkinkan konsumen dapat melihat gambat dari sang artis idolanya. Dengan munculnya format ini denyut nadi bisnis musik memang masih terasa lancar. Namun dari segi penjualan tidak sedahsyat era kaset.
Era musik digital
Musik Digital mulai populer di Indonesia menjelang tahun 2000an, meski diluar Negeri sudah dikenal sejak awal tahun 90an. Musik Digital menggunakan sinyal digital dalam proses reproduksi suaranya. Sebagai proses digitalisasi terhadap format rekaman musik analog, media putarnya menggunakan MP3 Player, iPod atau Software lainnya. Lagu atau musik digital mempunyai beraneka ragam format yang bergantung pada teknologi yang digunakan, yaitu : MP3, (MPEG, Audio Layer 3), MP4, WAV, AAC, WMA dan lainnya.
Memasuki era digital, berimbas dengan berakhirnya media perekam sebelumnya yaitu plat dan kaset. Ditambah lagi dengan banyaknya toko-toko kaset yang berguguran. Artinya, bisnis yang ber basis fisik sudah mulai kesulitan untuk dijalankan. Toko kaset semakin sulit ditemukan, banyak yang berubah fungsi menjadi toko klontong dan sebagainya. Sehingga jalur distribusi dan ritel secara otomatis mulai banyak yang bangkrut. Penjualan dalam bentuk fisik masih bergulir dengan mengandalkan media CD audio, VCD dan DVD. Tetapi pada proses ritelnya benar benar mengalami kesulitan. Karena di era ini orang lebih suka mendownload untuk kemudian dimasukkan kedalam memori flash disc, hard disc, atau hand phone sebagai nada dering atau lainnya. Sehingga bukan tidak mungkin bisnis fisik yang mengandalkan CD, VCD dan DVD lambat laun akan berakhir seperti pada kaset dan plat.
Dari teknologi ini muncullah bisnis musik melalui RBT (Ring Back Tone), Ring Tone, dan I-tune dan sebagainya seperti yang terjadi sekarang ini. Namun kehadiran perangkat baru ini ternyata juga tidak mampu mendongkrak bisnis musik secara umum seperti era kejayaan kaset pada tahun 80an. Setelah distributor dan toko-toko yang khusus menjual kaset /CD resmi dan asli mulai langka, pejuang penjualan dalam bentuk fisik mulai putar otak untuk tetap dapat menjual produksinya. Banyak cara yang dilakukan, mulai dari menjalin kerjasama dengan gerai ayam goreng (KFC), melalui ritel umum (kelontong) Indomaret, hingga bekerjasama dengan produk tabungan sebuah bank.
Memang pada awalnya banyak yang mencibir saat mendengar dan melihat sebuah karya seni yang bernilai tinggi ini ditampilkan di etalase ayam goreng. Tetapi akhirnya banyak yang mengikutinya. Dan sekarang malah seperti sudah menjadi tempat resmi penjualan produk musik (CD/VCD/DVD). Walau dengan berbagai alasan banyak juga yang enggan karyanya dipajang di etalase ayam goreng ini. Solusi lain dalam mensiasati sulitnya menjual dalam bentuk fisik, para produser mulai melirik pasar Off Air, atau pasar panggung musik. Tak heran kalau sekarang banyak produser atau label sekaligus menjadi Artist management atau agen untuk show-nya..! Dengan harapan apabila penjualan secara fisik kurang atau tidak laku, maka pihak produser masih dapat celah pemasukan dari off air nya.
Kesulitan berbisnis dijalur musik semakin tambah berat bebannya, belum lagi masalah klasik yaitu pembajakan yang sampai sekarang belum pernah bisa diberantas tuntas. Sementara arus musik luar yang masuk atau sengaja dimasukkan oleh para promotor untuk menggelar konser di Indonesia semakin deras. Walaupun harga tiket yang dipatok selangit, kenyataanya selalu laris manis terjual. Lalu bagaimana dengan nasib para musisi lokal.?. Solusinya tidak mudah harus ada keterlibatan dari berbagai pihak, mulai pelaku musik, produser maupun pihak pemerintah. Meskipun kami yakin untuk menciptakan rumusan dan solusi bukan perkara mudah. Dari paparan diatas, masing-masig bisa menyimpulkan sendiri , kapan sejatinya masa keemasan Industri musik Indonesia menurut anda?. (dirangkum dari berbagai sumber)