JAKARTA, VoiceMagz.com – Silang sengkarutnya pengumpulan royalti antara Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) selaku pemegang kuasa dari pemilik hak cipta dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terus memunculkan wacana-wacana baru.
Ada yang dengan terang-terangan mengusulkan agar LMKN ditiadakan saja, karena tidak memiliki kuasa dari pemilik Hak Cipta untuk mengumpulkan royalty dari para pemakai lagu (user). Namun ada yang tetap menginginkan agar LMKN tetap ada, karena amanat Undang-undang mengatakan begitu. Namun hal tersebut masih harus banyak dikoreksi atau direvisi, baik dari cara pembentukan LMKN nya maupun tentang cara pemilihan atau pengangkatan para komisionernya.
Usia LMKN sudah kurang lebih 3 tahun, bahkan per 19 Januari kemarin sudah purna tugas. namun sampai sekarang belum ada komisioner baru yang duduk di LMKN. Oleh karena itu proses pengumpulan royalti menjadi berhenti. Apa yang menyebabkan belum adanya komisioner yang duduk di LMKN periode selanjutnya?.
Ada sebagian LMK maupun pribadi pelaku musik yang menguasakan karya ciptanya kepada LMK merasa belum puas atau bahkan tidak puas dengan kinerja LMKN selama 3 tahun. Oleh karena itu perlu adanya rumusan-rumusan tentang kesepakatan baru atau aturan aturan baru sebagai landasan pembentukan LMKN maupun siapa-siapa yang duduk sebagai komisioner.
Banyak yang mempersoalkan apakah LMKN itu pembentukannya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri seperti selama ini, atau sebaiknya atas inisiatif dan kesepakatan para LMK yang ada untuk membuat LMKN. Bahkan lebih dari itu ada juga yang mempertanyakan keabsahan LMKN dalam mengumpulkan royalti. LMKN itu bekerja atas dasar kuasa dari siapa, lalu penentuan tarifnya bagaimana dan sebagainya.
Kendati demikian LMK-LMK memiliki pandangan yang sama soal pengumpulan royalti satu pintu. Karena dengan adanya pengumpulan satu pintu tersebut tidak membuat pusing para penggunanya.
Berdasarkan berbagai hal diatas Partai Golkar mengapresiasi dan sekaligus memfasilitasi diadakannya diskusi panel, untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan di atas.
Salah satu panelisnya adalah Profesor Agus Sardjono seorang akademisi yang juga pakar hukum Hak Cipta dari Universitas Indonesia.
Dalam diskusi panel yang diselenggarakan di auditorium DPP Partai Golkar di kawasan Slipi, Jakarta Barat tersebut, Prof Agus memaparkan jika LMKN tidak memiliki kuasa untuk memungut royalti.
“Kuasa dari mana LMKN memungut royalti? Yang punya hak memungut royalti adalah para LMK dengan catatan yang telah memenuhi syarat, diantaranya berbadan hukum nirlaba dan memiliki anggota dengan jumlah minimal 200 orang. Oleh karena itu LMK hak cipta maupun hak terkaitlah yang berhak memungut royalti karena lembaga ini memiliki kuasa langsung dari pencipta lagu atau penyanyi serta pemusik,” kata Agus.
Lebih lanjut Agus menambahkan, namun demikian, LMKN juga bisa mengumpulkan royalti dengan catatan jika para LMK yang ada ini sepakat menguasakan atau mensubkan kuasanya kepada LMKN kemudian disahkan oleh notaris dengan syarat LMKN juga berbadan hukum nirlaba.
“Jika seperti ini maka LMKN bisa bertindak mengumpulkan royalti, karena mendapatkan sub kuasa dari para LMK yang ada. Tentunya hal ini akan memudahkan bagi para pengguna agar penagihan cukup satu pintu (one gate),” tambah profesor yang juga seniman ini.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama Puput Novel selaku kader Partai Golkar merangkap panitia sekaligus penyanyi juga berpendapat, secara pribadi dirinya ingin agar ada sinergi antara LMK-LMK yang ada ini dengan LMKN.
“Agar kedepannya tidak lagi terjadi tumpang-tindih diantara fungsi keduanya. Semoga dengan diskusi yang diprakarsai oleh Partai Golkar ini kedepannya bisa ada titik temu yang bisa memberi manfaat bagi para pencipta lagu, penyanyi maupun pemusik, serta bagi Industri Musik di Indonesia,” terang Puput.
Apa yang dikatakan Puput diatas juga diamini oleh Lisa A Rianto yang menjadi ahli waris dari pencipta lagu kondang A Rianto, dan sekaligus menjadi salah satu pengurus di LMK KCI.
“Saya inginya agar masalah antara LMKN dan LMK ini cepet selesai. Semua harus jalan sesuai undang-undang agar tidak terjadi masalah yang lebih melebar antara LMKN dengan LMK. Kalau masalah ini berkepanjangan, yang rugi adalah kita juga. Royalti tidak bisa dipungut, kalau tidak bisa dipungut berarti tidak ada yang bisa dibagikan. Sementara para pengguna seperti karaoke, restoran dan lain lain tetap berjalan dan memakai lagu-lagu. Oleh sebab itu inginnya masing-masing menghormati dan berjalan sesuai aturan Undang-undang,” jelas Lisa.
Ketika ditanya tentang besaran royalti yang diterima sebagai ahli waris alm A.Riyanto, Lisa tidak mau menyebutkan berapa besaran angkanya, namun ia mengakui jika setiap tahun ada peningkatan meski tidak banyak.
“Yang tahu persis ibu saya. tetapi yang saya tahu setiap tahunnya ada peningkatan meskipun nggak banyak. tapi dari sisi waktu sering terlambat dari jadwal seharusnya. Biasanya tiap bulan Juni, tapi sering molor jauh,” ucap Lisa. (NVR)