Di ‘Buffalo Boys’, Koboi Kok Naik Kerbau?

oleh
oleh

JAKARTA, VoiceMagz.com – “Yang saya suka dari film ini adalah ada western rasa nusantara,” ucap Ario Bayu, pemeran utama ‘Buffalo Boys’ di sela-sela premier film ini di Jakarta, Kamis (19/7).

Western rasa nusantara’, kalimat yang diucapkan Ario tadi menjadi istilah yang ingin menggambarkan sebuah percampuran kultur sebagai salah satu ide dasar film terbaru besutan sutradara Mike Wiluan ini.

Berkisah tentang dua saudara kandung, Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso) yang bersama sang paman, Arana (Tio Pakusadewo) kembali ke tanah Jawa setelah bertahun-tahun hidup dalam pelarian di Amerika Serikat (AS) guna menghindari kejaran Van Trach (Reinout Bussemaker), penjajah Belanda. Keduanya pulang ke Jawa pada 1860-an guna membalaskan dendam ayah mereka, seorang sultan yang mati di tangan Van Trach.

Mike mencoba keras meramu dua budaya berbeda, koboi khas western dengan kultur nusantara khususnya Jawa. Usahanya ini memang tak sia-sia. Ada hal yang berbeda ditampilkan, dimana puncaknya adalah bersatunya kerbau dengan aksi koboi Jamar dan Suwo guna menumpas kejahatan.

Sutradara yang mengaku menggandrungi film western sejak masih bocah ini bertekad untuk membuat film bergaya ala film-film Clint Eastwood.

“Dengan tetap mengangkat ikon khas Indonesia, seperti batik, kerbau dan desa. Kesemuanya membutuhkan riset yang cukup panjang,” ujar Mike.

Perpaduan sentuhan nusantara dengan budaya barat memang terlihat penggambaran desa khas Jawa dan kota khas di film-film koboi seperti rumah pelacuran, bar, adegan adu tembak di jalanan kota, eksekusi hukuman gantung, dan bandit.

Tak perlu diragukan sisi sinematografi film ini, nyaris sempurna. Hanya ada sedikit cela dalam penggunaan CGI. Namun, ada dari alur cerita, beberapa hal kecil namun penting kerap mengganggu. Jamar dan Suwo seringkali terlalu mudah lepas dari kepungan anak buah Van Trach.

Walaupun sebenarnya Jamar dan Suwo memang akan menang di akhir cerita, para penggarap film ini harusnya bisa membuat dua anak sultan ini tak begitu mudah terlepas dari lubang maut. Masa iya, Jamar bisa dengan mudah keluar dari rumah terbakar yang telah dikepung hanya dengan menembak mudah dua orang anak buah Van Trach. Yang kemudian disusul Suwo dengan hanya melenggang saja.

Satu lagi hal yang terlihat menggangu konsentrasi menonton, penggunaan bahasa dan dialog yang dituturkan antara para penjajah dengan bangsa pribumi. Sudahlah pasti seharusnya dialog menggunakan bahasa Belanda atau Jawa di masa itu, namun yang muncul malah dialog dengan Inggris.

Bahkan tampak pribumi manggut-manggut seolah mengerti dengan bahasa Inggris yang diucapkan Van Trach dan anak buahnya. Harap diingat, ini bukan Thomas Stanford Raffles yang sedang berkomunikasi dengan pribumi, tapi Van Trach yang jelas-jelas meneer asli Belanda.

Entah apa pertimbangannya, yang jelas pasti bukan karena pertimbangan agar dapat mudah dimengerti penonton. Karena jelas ada subtitle berbahasa Inggris dalam setiap dialog berbahasa Indonesia di sepanjang film. Jadi, kenapa tidak digunakan saja bahasa Belanda dengan subtitle bahasa Indonesia dan Inggris juga.

Secara keseluruhan, film yang sudah tayang sejak Kamis (19/7) ini masih bisa enak untuk ditonton bagi yang rindu dengan aksi heroik koboi ala ‘Django’ atau ‘Unforgiven’.

Termasuk ide segar film ini seperti yang terucap oleh Van Trach: “koboi kok naik kerbau?” pun juga layak untuk diapresiasi. (NVR)

No More Posts Available.

No more pages to load.