Sineas muda Lola Amaria yang sukses dengan film ‘Minggu Pagi di Victoria Park’, kemudian baru saja mengangkat cerita orisinil melalui film terbarunya, ‘Negeri Tanpa Telinga’ yang rencana tayang 14 Agustus mendatang. Kembali, Lola Amaria lewat rumah produksi miliknya, Lola Amaria Production bekerjasama dengan Pemerintahan Australia, melalui AIPMNH meluncurkan film dokumentasi drama (dokudrama) bertajuk Inerie ‘Mama Yang Cantik’.
“Jujur, saya membuat film ini karena berbagai alasan. Satu, karena isunya perempuan dan angka kematian perempuan di sana tinggi. Kedua, saya suka Indonesia Timur karena alamnya yang eksotis, adatnya yang unik dan masyarakatnya yang ramah,” ujar Lola, saat jumpa pers di PPHUI, Kuningan, Jakarta, Senin (24/6)
Berlatar belakang daerah yang indah di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Lola yang sebelumnya melakukan riset ke beberapa daerah terpencil di Nusa Tenggara Timur selama dua pekan. Guna memberikan muatan dalam film yang dibuat untuk mengedukasi dan membantu menyelamatkan resiko kematian ibu hamil serta bayinya. Lola Amaria yang bertidak selaku produser, mengkolaborasi kulture, budaya, geografis dan makanan yang menjadi ciri khas masyarakat setempat.
Film Inerie ‘Mama Yang Cantik’, berkisah tentang sepasang saudara kembar, Bello dan Bella, dari desa Tololela, Bajawa, Pulau Flores. Bello yang wawasannya mulai terbuka, karena memiliki pengalaman bekerja di pulau Jawa, berjuang untuk mendidik masyarakat didaerahnya, termasuk saudarinya yang sedang hamil, untuk memeriksakan kehamilannya sejak dini dan saat melahirkan melalui puskesmas atau rumah sakit, guna menghindari kematian yang tidak perlu pada ibu dan bayi.
”Film ini dengan jelas menggambarkan beberapa rintangan dalam menurunkan tingkat kematian ibu. Namun juga memperlihatkan bagaimana rintangan-rintangan ini dapat diatasi melalui kerjasama positif antara pemerintah, layanan kesehatan dan masyarakat setempat,” jelas Lola.
Bersama 20 orang kru, termasuk sutradara Chairun Nissa dan pemeran utama Maryam Supraba, proses syuting yang memakan waktu sekitar tiga minggu, dan sekitar satu jam jarak tempuh menuju titik lokasi syuting ini. Lola mengatakan,”Para awak film mendapat pengalaman yang luar biasa di Flores. Kebaikan hati penduduk, keindahan budaya dan alam memberi inspirasi kepada kami dalam membuat film ini. Kami harap pesan inti film ini akan mendorong setiap orang untuk ambil bagian dalam mengurangi jumlah kematian ibu dan bayinya di Indonesia,” ujarnya.
Film dokumentasi drama yang akan ditayangkan di 10 kabupaten di Nusa Tenggara Timur dan disiarkan di stasiun televisi setempat. Tanpa mengurangi apresiasi dari inti pesan yang disampaikan, film ini kurang maksimal dramaturgi-nya. Ada bebarapa catatan yang sebenarnya menarik untuk dikembangkan kedalam gambar, misalkan; Keengganan masyarakat setempat untuk ke Puskesmas, pertama jarak tempuh yang sangat jauh dan akses jalan yang sulit. Masyarakat yang memegang adat-istiadat yang turun temurun, setiap keputusan yang akan diambil harus dimusyawarahkan terlebih dahulu, seperti orang tua Bello dan Bello ini.
Walau sekedar film penyuluhan tentang kesehatan yang digarap secara dramatik, sayang catatan diatas sebagai problem solving kurang digarap maksimal. Padahal, ini sangat penting, sebagai solusi penyelesaian masalah untuk memberikan pemahaman dan pendidikan untuk menyelamatkan lebih banyak lagi tingkat kematian ibu dan bayi. Problem ini banyak kita temui di beberapa tempat desa terpencil dan tertinggal, soal kultur, geografis dan pemerataan kesehatan yang sangat menarik untuk disampaikan untuk segera.|Edo