Kisah Pelik Seorang Jurnalis dalam Novel “Jalan Lain Ke Tulehu”

oleh
oleh

TulehuBanyak kisah menarik yang diangkat dari suatu peristiwa yang sama. Baik ke dalam ruang dengar dan lihat, atau masuk ke dalam ruang baca. Terlebih lagi, peristiwa itu nyata dan memiliki historis yang lekat dengan emosional siapa saja. Hanya tinggal dari mana sudut pandang akan diarahkan dan layak untuk ditawarkan.

Seperti novel berjudul ‘Jalan Lain Ke Tulehu: Sepakbola dan Ingatan Yang Mengejar’ karya Zen RS yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka dan Plot Point Kreatif ini, dibuat sebagai rangkaian proyek dari film ‘Cahaya dari Timur: Beta Maluku’ yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko dan diproduseri oleh Glenn Fredly, yang akan segera tayang 19 Juni 2014 mendatang di seluruh bioskop tanah air.

Meski keduanya memiliki latar belakang peristiwa yang sama, namun novel ‘Jalan Lain Ke Tulehu’ menceritakan kisah yang berbeda. Kalau dalam film ‘Cahaya dari Timur: Beta Maluku’ bercerita tentang perjuangan Sani menyelamatkan anak-anak di Ambon dari konflik melalui sepaka bola. Sedangkan ‘Jalan Lain Ke Tulehu: Sepakbola dan Ingatan Yang Mengejar’’ mengisahkan tentang seorang jurnalis bernama Gentur dalam melawan konflik pribadinya di tengah penugasannya dalam konflik di Ambon.

“Novel ‘Jalan Lain ke Tulehu’ yang ditulis oleh Zen RS yang tidak memiliki darah Ambon ini, adalah bagian dari satu rangkaian film Cahaya Dari Timur yang akan rilis 19 Juni nanti. Walaupun berbeda isi tapi menarik banget, antara film dan novel ini menjadi suatu kekuatan sinergis yang luar biasa karena punya nilai-nilai betapa pentingnya artinya perdamaian yang harus dirawat dan harus dijaga, enggak cuma untuk generasi hari ini, tapi generasi ke depan. Jadi kita bangga banget lah, saya selaku produser bersama Angga sebagai sutradara film, sebelum film ini rilis kita melaunching novel ini,” jelas Glenn Fredly, saat memperkenalkan hadirnya novel ini di Kopi Dimana bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Senin (9/6).

Hal senada juga disampaikan Zen RS sang penulis,”Novel ini saya kira bercerita tentang awalan dari cerita filmnya sendiri. Kalo “Cahaya Dari Timur” itu bercerita tentang usaha Sani Tawainella untuk sekuat dia, semampu dia dalam kapasitas dia sebagai seorang pelatih sepak bola menyemaikan virus-virus perdamaian, novel ini justru bercerita tentang awal-awal konflik itu sendiri meletus. Sehingga novel ini bisa diperlakukan sebagai prekuel, bukan sekuel dari filmnya. Novel ini memberi konteks sosial, politik dan budaya dari apa yang kemudian secara visual digambarkan oleh Angga dalam Cahaya Dari Timur yang akan tayang tanggal 19 Juni nanti,” ujar Zen.

Tidak banyak dari kita yang memiliki ingatan jelas tentang apa saja yang terjadi di Ambon beberapa tahun silam. Karena peristiwa diketahui hanya dari mendengar khabar dan membaca dari sebuah berita. Setiap peristiwa menyimpan kenangan yang tersurat dalam diri kita masing-masing, bukan sekedar catatan pahit yang kelam, namun juga terdapat kenangan manis yang tersimpan, seperti bagaimana sepakbola menjadi pemersatu masyarakat Ambon. Novel ini bukan hanya bercerita tentang bagaimana sepakbola secara unik memainkan peranannya ditengah konflik. Tapi novel ini juga menempatkan puisi, musik, dan politik ingatan sebagai elemen penting yang bahkan menyelamatkan Gentur sang jurnalis. Maka sangat menarik, karena antara film dan novel ini bertemu menjadi suatu kekuatan sinergis yang membawa nilai-nilai penting arti perdamaian.|Edo (Foto Nur Ichsan)

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.