
WONOSOBO, VoiceMagz.com – Ada yang menarik ketika melintas di sepanjang jalan antara kota Parakan hingga Wonosobo, Jawa Tengah.
Di sepanjang jalan, banyak warung atau kedai bertuliskan ‘Mie Ongklok’ yang membuat penasaran banyak orang, terutama yang jarang berkunjung ke kota sejuk di kaki pegunungan Dieng yang terkenal ini.
Saat perjalanan pulang mudik dari Magelang ke Jakarta, VoiceMagz.com sengaja melewati jalur tengah yang membentang dari Magelang, Temanggung, Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Purwokerto hingga Bumiayu.
Perjalanan melewati jalur ini bukan tanpa sengaja, tetapi memang sudah direncanakan sebelumnya. Awal tahun lalu, kami sudah sampai di Wonosobo, namun tak berhasil mencapai tujuan utama kami yaitu Dieng, karena pengunjung yang membludak sehingga jalanan macet dan banyak wisatawan yang tak berhasil mencapai lokasi wisata fenomenal dengan Telagawarna dan kawah Sikidang-nya itu.
Melalui grup WA alumni sekolah, saya bertanya, siapa teman yang tinggal di Wonosobo? Kemudian ada yang menjawab Eko Hastuti. Belum sempat kami menanyakan, ternyata Eko Hastuti merespon pertanyaaan saya di grup WA dengan menjawab melalui WA jalur pribadi (Japri). Dari situ komunikasi berlanjut hingga akhirnya kami sekeluarga bisa bersilaturahmi ke kediaman Eko Hastuti.
Berkenalan Dengan Mie Ongklok
Dari pertemuan malam itu, kami sekeluarga diajak keluar makan malam dengan Eko Hastuti dan suami. Tujuan utamanya adalah ‘Mie Ongklok’ yang telah membuat kami sekeluarga penasaran dengan nama dan rasanya itu. Dan ternyata, setelah kami mencicipi kuliner khas Wonosobo ini, hmmm…rasanya luar biasa.
Apalagi jika di makan berbarengan dengan sate yang juga khas Wonosobo yaitu sate sapi. Rasanya Mak Nyusss (kata almarhum Bondan Winarno yang ahli kuliner itu).
Usai menikmati Mie Ongklok, kami pun melanjutkan perjalanan ke Dieng, namun Eko Hastuti dan suami melarangnya.
“Udah nginep disini saja, di Dieng dingin banget. Saya saja yang sudah puluhan tahun tinggal disini menggigil kalau ke Dieng, kasihan anak-anak nanti kedinginan,” jelas Eko.
Mendengar apa yang dikatakan Eko tersebut, kami sekeluarga sepakat menerima tawaran menginap di rumahnya. Pagi harinya sebelum berangkat ke Dieng, kami sempat dibawa berekreasi ke pemandian air hangat yang tak jauh dari rumahnya. Pada pukul 13.00 WIB, kami pun pamit melanjutkan perjalanan ke Dieng.
Tak diduga, meski Eko Hastuti kini guru di SMPN 1 Wonosobo dan mengajar bahasa daerah, ia lumayan trampil menulis secara jurnalistik. Sehari setelah saya tiba di Jakarta, ia mengunggah tulisannya tentang kebersamaan kami di Wonosobo menikmati Mie Ongklok, makanan khas Wonosobo itu melalui akun Facebooknya yang dibagikan ke saya.
Berikut tulisan beliau:
Eko Hastuti bersama Irish Blackmore.

Mie Ongklok Bikin Penasaran
Selain cuaca dingin yang membuat badan menggigil, kemudian Dieng yang melegenda, jugaada makanan khas kota Wonosobo yaitu “Mie Ongklok” yang menggugah selera. Tiga hal itu yang mewarnai perbincangan kami sejak tamu dari Jakarta singgah di rumahku.
Yah, Irish Blackmore teman sekolahku dulu sewaktu di SPG Muhammadiyah Muntilan beserta keluarga bertandang di kota dingin Wonosobo. Maka, dari pada penasaran mereka kuajak menikmati mie ongklok meski gelap mulai merambati malam. Jam 20.00-an malam kami keluar rumah untuk berburu mie ongklok.
Selama perjalanan kami juga bercakap mengapa namanya mie ongklok. Juga cara membuatnya serta gambaran spesifikasi rasanya. Sampai Mbak Maya, istri Irish penasaran. Apalagi putra-putrinya, banyak mengajukan pertanyaan kepada mamanya. Padahal mamanya juga belum tahu.
“Udah, nanti lihat langsung saja, Mama juga penasaran” jawab Mbak Maya.
Perjalanan mulai memasuki kota Wonosobo. Sampai di pertigaan Longkrang, suamiku mulai menjelaskan. Di depan situ ada mie ongklok yang enak, tapi biasanya jam segini sudah tutup. Pengunjungnya sampai berjubel, sampai meluber di teras rumah dan duduk-duduk di trotoar jalan. Nha kan, sudah tutup” kata suamiku begitu melewati mie ongklok Longkrang.
Kami melanjutkan perjalanan hingga melewati alun-alun Wonosobo yang sedang ditutup dengan pagar melingkar karena sedang dalam direnovasi.
“Biasanya di seputar alun-alun banyak mie ongklok kaki lima. Rasanya juga enak, tapi kita cari yang lebih enak lagi ya” cetus suamiku lagi.
Sambil terus bercerita tidak terasa perjalanan sudah sampai Mie Ongklok Sapen, tapi sayangnya juga sudah tutup. Setelah memutar di bundaran Selatan, kami kembali menyusuri jalan ke Plaza. Baru sampai sebrang Klenteng ada penjual mie ongklok di samping kiri jalan. Akhirnya perburuan mie ongklok berakhir di situ.
Saya pesan tujuh mangkok plus sate dan lima teh hangat serta dua jeruk panas. Karena pengunjungnya rame, kami harus nunggu beberapa saat. Aroma mie ongklok mulai terasa, menggelitik hidung. Bau daun kocai, bawang merah goreng, dan sate yang dibakar membuat perut terasa tambah lapar.

Kami terus berbincang banyak hal tentang Wonosobo. Apalagi Irish yang seorang wartawan punya banyak pertanyaan. Keingintahuannya tentang Wonosobo tak ada habisnya. Hingga pesanan datang. Teh hangat, jeruk panas, mie ongklok, dan sate tersaji di meja lesehan.
“Ini makannya gimana, Ma?” tanya Edselll,anak kedua Irish.
“Mienya dicampur dulu sama kuahnya, Exel” jawabku.
“Ni, sambal gosrehnya kalau ingin pedas. Tapi sedikit saja, soalnya ini “Lombok cengis” yang sangat pedas” imbuhku.
“Hem..sedap, akhirnya kesampaian makan mie ongklok” seru Irish yang nampak menikmati sensasinya. “Satenya juga mantap!” kata Irish juga.
“Ini salah satu makanan khas asli Wonosobo, dibuat dari mie yang direbus. Racikan bahannya menggunakan kol, dan daun kucai. Sedangkan kuahnya yang kental terbuat dari tepung kanji. Cara pengolahan mie dengan menggunakan keranjang kecil dari anyaman bambu untuk merebus mie. Caranya digoyang-goyang atau diongklok-ongklok di dalam air mendidih dalam soblok.
“Kalau pingin lihat langsung ke sana saja nanti, Mbak Maya” kataku sambil menunjuk gerobag tempat memasak.
“Biar rasanya semakin enak, mie ongklok diberi ebi jadi aromanya semakin maknyus. Tambahan lainnya, tahu bacem yang diiris kecil-kecil, lalu ditaburi mrica bubuk dan bawang goreng. Biasanya tambah cemilan tempe kemul, dan geblek tapi karena sudah malam mungkin sudah habis” imbuhku.
Kami meneruskan menikmati mie ongklok dengan lahap, tiba-tiba dikejutkan dengan suara Irish yang menggelagar, “Waow..luar biasa, sedap. Enak..enak… Makasih ya, jamuannya mantap”.
Selesai makan, aku mendekati penjual yang terus sibuk mengongklok-angklok mie, daun kol, daun kucai karena banyak pesanan. Mbak Maya mengikuti dari belakang dan tercengang melihat cara memasak yang seperti itu. Sambil pegang alat memasaknya, dan tanya ini itu. Setelah membayar, kami pulang dengan perut kenyang. Kenangan makan mie ongklok pun tidak akan hilang.
Itulah sekelumit cerita perjalanan pulang kami sekeluarga yang akhirnya bisa menyambung silaturahmi yang terputus selama 33 tahun lamanya.
Jangan kapok ya Mbak Eko dan keluarga menerima kami. Maaf kalau kedatangan kami sekeluarga menggangu. Jika sampai waktunya nanti, Insya Allah kami mampir.
Oh iya ada yang kelupaan, ada satu lagi makanan khas Wonosobo yaitu ‘Carica’. Oleh-oleh ini adalah manisan yang dikemas seperti minuman. Dan ini rasanya juga luar biasa.
Terima kasih juga oleh-oleh Carica-nya ya. /Irish