Potret “Trend Setter” Munculnya Lagu Anak-Anak
Mungkin saja anak-anak muda sekarang tak banyak yang tahu siapa nama sosok Nomo Koeswoyo. Namun bagi pecinta musik Indonesia sejati tentulah bukan nama yang asing. Pasalnya beliau adalah salah satu nama musisi legendaris yang sanggup mewarnai jagad musik Indonesia, terutama di era 60an 70an hingga 80an.
Pemilik nama lahir Koesnomo Koeswoyo ini membuka lembaran sejarah musik Indonesia ketika bersama saudara-saudaranya (Jhon, Tony, Yok dan Yon) tergabung dalam Koes Bersaudara pada tahun 1960-1968 sebagai penabuh drum. Dari kelompok ini lahir lagu-lagu monumental yang masih banyak dibawakan para musisi muda hingga sekarang seperti, Bis Sekolah, Di Dalam Bui, Telaga Sunyi, Laguku Sendiri dan banyak lagi.
Entah apa kejadian sebenarnya, pada tahun 1968 Nomo dikeluarkan oleh kakaknya Tony Koeswayo (Alm) dari posisinya sebagai penabuh drum dalam dalam grup tersebut. Sebagai bentuk loyalitas yang tinggi terhadap kakaknya yaitu Nomo, mak Yok atau nama lengkapnya Koesroya yang menjadi pemain bass juga turut keluar dari Koes Bersaudara. Dengan demikian grup ini vakum dan usai. Keinginan kuat untuk terus bermusik dari kakaknya yaitu Tony Koeswoyo, maka ditariklah Murry (Kasmuri) dan Totok AR untuk menggantikan keduanya, formasi inilah yang selanjutnya menandai lahirnya Koes Plus.
Berhenti dari Koes bersaudara, denyut nadi bermusik dari Nomo Koeswoyo tidak lantas berhenti begitu saja. Belau sempat membentuk Grup baru yang diberinama No Koes. Uniknya meski telah melahirkan beberapa volume rekaman dari beberapa versi (pop, pop Jawa, Keroncong, Melayu dll) masyarakat masih dibuat bertanya-tanya, pasalnya dalam sampul kaset tersebut tidak tercantum gambar (Foto) para pendukungnya dalam No Koes. Bahkan dalam rentang awal tahun 70an selain membentuk No Koes, Nomo juga pernah membentuk beberapa band. Diantaranya No Bo, dan Patas. Selain itu Nomo juga membidani lahirnya Usman Bersaudara dan Kembar Group (Bar Bros).
Nomo Pelopor Lahirnya Lagu Anak-Anak
Gebrakan di dunia musik dari Pria kelahiran Tuban Jawa Timur, 21 Januari 1939 itu terus berlanjut. Pada sekitar tahun 1976 Dunia musik Indonesia dikejutkan dengan lahirnya lagu anak-anak yang berjudul Heli dinyanyikan oleh anaknya sendiri yaitu Chicha Koeswoyo. Ibarat sebuah bom, ini adalah bom terbesar yang pernah meledak lewat lagu anak-anak di Indonesia. Kesuksesan mengorbitkan Chicha dalam beberapa album, dilanjutkan dengan sang adik yaitu Hellen Koeswoyo. Helenpun turut mencicipi rekaman dalam beberapa album hasil karya sang ayah Nomo Koeswoyo. Sedang kesuksesan kedua putri Nomo ini menginspirasi anak-anak lainnya kala itu untuk mengikuti jejak Chicha. Diantaranya ada Adi Bing Slamet, Ira Maya Sopha, Dina Mariana Joan Tanamal hingga sepupunya Sari Yok Koeswoyo dan lain-lain. Lalu bagaimana ceritanya proses pembuatan lagu Heli ini bisa meledak..?. Berikut sedikit wawancaranya.
Suatu Sore di kediaman Nomo Koeswoyo di Lembah Tidar Magelang.
Q: Selamat Sore Mas Nomo, Apa kabar..?
A: Selamat Sore Kabar baik dan yang penting sehat.
B: Sedang sibuk apa nih mas?
A: Lagi merealisasikan Ideku untuk membuat meja dari Bonggol kayu jati.(tampak didepannya meja
besar masih setengah jadi nan artistik terbuat dari potongan bonggol kayu jati) sambil balik bertanya
ke kami, Ini yang mahal apanya..? kami jawab Kayunya mas. O.., gobok kowe (bodoh kamu) sing
larang idene (yang mahal idenya) sambil bercanda penuh akrap dengan awak Voice Magazine.
Q: Mas, maaf sebelumnya, tanpa bermaksud memotong obrolan kita, langsung saja saya ingin tahu
Lebih dalam tentang proses terciptanya lagu Heli yang dinyanyiin chicha kala itu. Sebab menurut kami
Lagu itu menjadi tonggak sejarah lahirnya lagu anak-anak di Indonesia.?
A: Aku nggak sengaja mbikin lagu itu, jadi kalau diceritaken apanya yang mau diceritaken.?
Q: Maksusnya proses terciptanya lagu Heli itu mas..?
A: Itu dilatar belakangi kejadian biasa aja, kejadian sehari-hari tanpa sengaja. Waktu itu pagi-pagi aku
mau berangkat ke kantor, sudah berpakaian rapi tiba-tiba anjingku yang namanya Heli itu lari-larian
kesana kemari sambil sambil sesekali nyamperin Chicha. Terus aku duduk, dari situ lalu aku buat
melodinya dengan na..na..na..na…, sambil gabungin dengan liriknya. Darisitu jadilah lagu Heli itu.
Q: Sesederhana itu mas..?
A: Ya iya memang begitu, Terus direkam sama operator saya, Chicha waktu nyanyi itu belum bisa
mbaca lho…!
Q: Hebat bener mas, dari sebuah proses yang amat sederhana itu, ternyata albumnya terjual laris, bahkan
sanggup menghantarkan nama Nomo Koeswoyo dan Chicha menjadi Trendsetter lagu anak anak.
A: Itu kebetulan saja, niat awalnya cuma pingin bikin lagu buat anak-anak, karena aku pikir waktu itu di
Indonesia belum ada lagu yang buat anak-anak. Saya pun nggak pernah mikir itu akan laku apa nggak
di pasaran. Kebetulan setelah dirilis eh ternyata laku. Dari situ terus lahir album-album berikutnya dari
Chicha juga adiknya Helen.
Q: Terakhir nih mas, Chicha itu pernah merilis berapa album yang khusus lagu anak-anak?
A: Lali… (Lupa..)
Itulah cuplikan bincang-bincang kami dengan Mas Nomo, seputar terciptanya lagu Heli yang sangat popular di tahun 70an itu. Mas Nomo belakangan ini merasa hidupnya lebih damai menyatu dengan suasana alam sekitarnya. Tetapi Tetap Produktif mencipta lagu di usia Senjanya.
Nomo Juga Seorang Pengusaha Ulet dan Sukses
Selain dikenal sebagai musisi yang sukses, Nomo juga dikenal orang sebagai pengusaha yang sukses. Ketika ditemui musiclive di rumahnya di kota Magelang, Jawa tengah, pada awal September 2013 lalu, Nomo menceritakan kisah seputar kehidupannya diluar musik.
Dari perbincangan sore di rumah yang teduh dan terkesan damai itu, mengalir cerita-cerita ringan dengan sesekali menggelitik beraroma canda (banyolan) dalam bahasa jawa yang khas. Bapak dari 2 putri dan 1 putra itu bercerita kalau naluri bisnisnya sejatinya sudah dimulai ketika masih muda. Yaitu dengan berjualan sepeda onthel. Beliau membeli sepeda dari Jakarta, kemudian menjualnya di tanah kelahirannya Tuban.
Setelah itu mengalir terus ceritanya hingga berbisnis jual-beli mobil. Terus menjadi pucuk pimpinan di perusahaan rekaman Yukawi, hingga berbisnis seluk beluknya berbisnis property. “ Saya ini sudah pernah merasakan kesuksesan hidup, meskipun saya masih ada jatah rumah di komplek Koes Plus di Jl. Haji Nawi di Jakarta, waktu itu saya juga punya 2 rumah lagi di jalan yang sama, terus rumah lagi di Jalan barito yang saya sewaken” ungkapnya.
“Bisnis Property saya mulai di daerah Depok, Bogor Jawa Barat. Sayapun pernah tinggal dan mbangun studio disana. Namun untuk bisnis yang satu ini saya kurang beruntung. Saya bangkrut habis-habisan, rumah saya jual buat bayar bank” imbuhnya.
Kemudian beliau melanjutkan ceritanya hingga menemukan tempat tinggal yang cocok di Magelang. Saya beli tanah ini (sambil menunjukkan sekitar pekarangan tempat tinggalnya) dulu tahun 1996 harganya masih 150rb/m, uangnya pinjem sama bank, terus saya bangun 6 Ruko di sebelah, kemudian ruko itu saya jual 5 buah, duitnya buat bayar bank lunas. Jadi saya masih punya untung 1 ruko dan 1 rumah yang saya tempati ini beserta tanah pekarangan seluas 1,5 hektar. Untung to.? Tutup Nomo dengan gaya bicara yang ceplas ceplos namun penuh keakraban itu.
Merasa Damai Tinggal di Kota Magelang
Menikmati usia tuanya yang sudah mencapai 76 tahun, sang legendaries ini tidak lantas duduk manis, bermalas malasan dan tidur-tiduran, namun tetap energik dengan pekerjaan-pekerjaan dan hobynya yaitu merawat tanam-tanaman, memelihara ayam dan burungdan lain-lain. Bahkan ketika pertamakali kami datang, beliau sedang asik mengampelas meja karyanya yang terbuat dari tunggak kayu jati. Selain itu beliau juga menceritakan kalau ini semua yang membelah saya sampai habis 3 mata rantai gergaji kisahnya. Meski aktif diluar musik, namun Nomo Koeswoyo juga tetap produktif menciptakan lagu, baik dalam bahasa jawa maupun bahasa Indonesia. Makna liriknya begitu dalam dan luar biasa, hamper semuanya berisi tentang pitutur atau wejangan hidup manusia.
Dipilihnya Magelang sebagai kota tempat tinggalnya sekarang, bukan tanpa alas an, ketika kami menanyakan kenapa mas Nomo memilih Magelang sebagai tempat menikmati hari tuanya? Beliau tidak menjawab. Malah masuk rumah kemudian keluar menenteng sebuah buku yang dilemparkan ke saya “ Nyo Woconen iki” (nih baca ini). Buku itupun lalu sedikit aku baca, dan ternyata isinya luar biasa. Menceritakan tentang seorang wali dari Irak yang diutus kerajaan Turki Utsmani untuk mengisi tanah jawa yang belum berpenduduk, dan kala itu masih didiami oleh sebangsa Jin dan setan yang berpusat di Magelang.
Nomo Koeswoyo memang telah menemukan kedamain di kota Magelang, beliau sangat menikmati apa yang ada disekitarnya. Beliau orangnya sangat sederhana dan memasyarakat, berteman dengan siapa saja, dari tukang becak sampai pejabat semua dijadikan teman. Bahkan beliau sudah menjadi “Orang yang Dituakan” di daerah Magelang. Tak jarang para pejabat local setempat, hingga para Kiyai atau pemuka masyarakat hingga Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) pernah mengunjungi dan bersilaturahmi di rumahnya.
Dari kunjungannya ke rumah Nomo Koeswoyo ini, ada hal yang sangat berkesanbagi kami, kecuali sambutannya yang hangat dan sangat akrab seperti saudara. Tetapi juga dari pemikiran-pemikirannya beliau yang mencerminkan kearifan. Ada beberapa tulisan berbahasa jawa “Tembung Saloko” yang menghiasi tembok rumahnya seperti kata-kata; “Wehono Teken Wong Kang Klunyon, Wehono Mangan Wong Kang Kluwehan, Wenehono Sandang wong kang Wudoh” Pikir lan lakumu Sing Apik. Bahasa Indonesianya: Berilah Tongkat kepada orang yang sedang berjalan ditempat yang licin, Berilah makanan kepada orang yang kelaparan, serta berikanlah pakaian kepada orang yang telanjang. Pikiran dan Tingkah laku yang baik. Silahkan anda menyimpulkan makna dari kata-kata diatas. Terima kasih Mas Nomo, atas kebaikan ini semua. Semoga kesehatan serta kedamaian dari Yang Maha Kuasa selalu tercurah untuk Mas Nomo dan Keluarganya. Foto: Fajar